Peringatan Maulud Gaya Using,
dari Serakalan sampai Dangdutan
Ditulis
: Drs. Moh. Syaiful
Jika hari sudah memasuki bulan
Maulud dalam kalender Jawa atau bulan Rabi’ul Awal dalam kalender Islam (Tahun
Hijrah) masyarakat Banyuwangi terlihat bersemangat menyambutnya. Di bulan ini
Masyarakat Banyuwangi mulai membuka tabungannya untuk memperingati dan
membesarkan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW ini. Bulan ini dianggap bulan
yang istimewa bagi masyarakat Banyuwangi.
Hampir si setiap desa dan kampung-kampung
di Banyuwangi seolah terbangun dari tidur panjangnya menyambut bulan bahagia
ini. Kegembiraan ditunjukkan dengan menyembeli binatang peliharaannya, dari
ayam, kambing bahkan adapula yang sapi atau lembu. Yang selanjutnya dagingnya
dibuat makan dan dibagikan kepada sanak saudara dan orang tua.
Masjid dan surau semua dibersihkan,
dicat atau dikapur agar nampak bersih dan indah sebab banyak kegiatan akan
dilaksanakan di Masjid dan surau-surau. Setelah dikapur atau dicat, dan
dibersihkan halamannya selanjutnya Masjid atau surau dihias dengan kertas
berwarna-warni dan tidak lupa dengan spanduk dan poster bertuliskan peringatan
Maudlud Nabi Muhammad SAW. Gambar-gambar suasana mekah juga unta dan buah kurma
menjadi setting Msajid dan Surau dalam memperingati Maulud Nabi di Banyuwangi. Sebentar lagi akan dilaksanakan arak-arakan
judhang (pohon berhiaskan bunga telur) keliling kampung.
A.
Serakalan
Setelah arak-arakan keliling
kampung/.desa, selanjutnya para pria masuk ke masjid atau surau untuk melanjutkan
kegiatan pembacaan Sholawat. Memanglah benar peringatan Maulud Nabi Muhamad di
banyuwangi tidak bisa dipisahkan dengan pembacaan Sholawat Nabi. Pembacaan
sholawat itu biasanya disebut dengan Serakalan. Serakalan sebenarnya adalah pembacaan kitab Al-Barzanji secara
bersama-sama yang menggunakan lagu atau irama yang sudah disepakati bersama.
Penamaan Serakalan diambil dari salah satu bacaan yang ada dalam kitab
Al-Barzanji tersebut yaitu Asroqol. Dalam serakalan ini isinya yaitu riwayat Nabi serta puji-pujian terhadap Nabi, sahabat lan para kerabatnya. Di sana
Al-Barzanji dibacakan bersama dengan lagu dan irama yang sudah diwariskan
secara turun-temurun. Pembacaan Al-Barzanji biasanya bersaut-sautan, ada yang
membawakannya adapula yang menjawabnya.
Ada tiga bagian dalam pembacaan
Serakalan di peringatan Maulud Nabi. Bagian
pertamaadalah bagian Dzikiran. Dalam bagian ini dimulai dengan pembacaan “Assalmualaik…”dan
seterusnya. Pembacaan Dzikiran biasanya dilakukan bersama dalm posisi duduk dan
melingkar di dalam masjid/surau. Semua lagu dan irama dibaca secara berurutan
sesuai lagu yang sudah dihafalkan semua peserta. Sama seperti “Macaan” lainnya,
Serakalan juga dibagi pada bagian
pembawa (penanya) dan penjawab. Dalam bagian dzikiran lagunya tidaklah terlalu
kaku sperti pakemnya sedikit banyak setiap daerah maupun desa mempunyai gayanya
masing-masing tetapi perubahan tadi memanglah harus telah disepakati bersama
dalam kel;ompok tersebut. Maka dari itu lagu dan irama dalam dzikiran di jaman
sekarang hamper setiap desa/kampung mempunyai lagu sendiri-sendiri. Terkadang
dalam bagian ini syair dari jawaban juga dibuat sendiri dan bahkan pula dengan
bahasa using seperti basanan using. Salah satunya seperti di bawah ini:
Mayo-mayo
podho seba
Sebane
wong pendopo
Pendopone
kanjeng nabi
Dzikiran
selawat nabi… ,
Sedangkan
jawaban dalam Al-Barzanji kurang lebih
sebagai berikut:
Sholatun
wataslemun
Waijekaf
tahiyatin
Alamun
ala illa
Hurobbusumma
sholla
Selain itu juga ada pantun dari Bahasa Melayu yang juga telah diserap dalam
serakalan :
Naik sepeda jangan
diputar
Kalo diputar rusak
rodanya
Anak muda belajar pintar
Kalo pintar mahal
harganya….
Pada bagian kedua adalah bagian “Macaan”
. Dalam bagian ini hanya ada satu yang membaca Al-Barzanji sedangkan yang lain
menyimak. Sesekali peserta lain menjawab pada bagian yang menyebut Nabi
Muhammad dengan jawaban yang sama yaitu: “Sholallahu alaiwasalam,…Salamun alaik”.
Bagian Macaan adalah bagian yang menceritakan kisa-kisah Nabi Muhamad dari
kelahiran beliau sampai saat kematiaan beliau. Disamping itu juga
riwayat-riwayat kenabian yang dialami Nabi Muhammad.
Selanjutnya dalam bagian ketiga semua
peserta Serakalan akan berdiri sambil membaca “Ya Nabi salam Alaika…”. Sikap berdiri disini dimaksudkan adalah
untuk menghormat kepada Nabi saat pembacaan Ya Nabi Salam tersebut. Masyarakat
percaya saat itulah roh Kanjeng Nabi akan dating bersama malaikat selanjutnya
akan membacakan doa bagi yang mebacakan sholawat untuk nabi. Diantara bagian dua dan bagian tiga
biasanya dipisahkan dengan jeda, dimana saat ini para peserta serakalan boleh
istirahat sebentar sambil membasuh tenggorokannya dengan air putih yang telah
ditaburi bunga. Air ini dengan keharumannya akan membrikan kesegaran bagi para
peserta yang telah bersemangat membawakan Serakalan. Selain Air bunga biasanya
juga disediakan pula air minum yaitu bir asem. Air dengan jeruk nipis dan
sedikit gula untuk memberi kesejukan pada kerongkongan para peserta Serakalan.
Bir asem ini tidaklah mesti ada jika tidak biasanya juga diganti dengan “wedang
jahe” atau “es kelapa muda”
Serakalan jika dibawakan semuanya
seperti yang ada pada kitab Al-Barzanji lamanya bisa mencapai waktu 2 jam
lebih. Tetapi di jaman sekarang lebih sering disingkat dan dipotong-potong
sehingga tidak terlalu panjang dan memakan waktu. Serakalan biasannya akan
ditutup dengan doa pada akhir rangkaiannya.
Di jaman sekarang serakalan masihlah
dilakukan oleh golongan tua. Tidak banyak anak muda yang bisa. Anak-anak muda
paling-paling hanya bisa menjawab saja dan tidak bisa membawa. Hal ini
dikarenakan mungkin terlalu banyak lagu yang harus dihafalkan . Generasi di
jaman sekarang tidaklah tertarik dengan hafalan, kata sebagian orang-orang tua
yang melakukan Serakalan.
Menurut keterang Syafi’i salah seorang
tokoh masjid di kampung Satriyan mengatakan Serakalan ini tinggal satu generasi
lagi saja yang bisa mebacakan lagu keseluruhan dalam Al-Barzanji setelah itu
mungkin kita tidak mendengar lagi Serakalan di kampung ini. Hal ini juga
dialami di kampung-kampung lain. Untuk itu perlu segera diadakan kembali
kegiatan Serakalan kepada anak-anak muda agar kebiasaan dan adat ini bisa tetap
lestari di masa-masa mendatang.
B.
Oncor-oncoran
Lain ladang lain belalang lain ikannya
begitulah kira-kira pribahasa yang tepat untuk menggabrkan kegiatan peringatan
Maulud Nabi di Banyuwangi ini. Di deasa Kedaleman Rogojampi satu hari sebelum
pelaksanaan serakalan di Masjid/surau di sana dilaksanakan arak-arakan dengan
membawa obor dan judhang (pohon berhiaskan bunga telur). Pada malam menjelang
peringatan itulah masyarakat desa kedaleman dan sekitarnya bersuka ria dengan
turun ke jalan untuk melaksanakan arak-arakan kembang endhog. Semua orang tua
muda dan anak-anak membawa obor keliling desa. Obor yang dibuat dengan batang
bamboo yang diberi sumbu kain itu dinyalakan dengan bahan bakar minyak tanah. Setelah
obor dinyalakan selanjut mereka beramai-ramai mengelilingi desa menyusuri jalan
dengan penerangan tradisional tersebut.
Di
malam itu desa kedaleman serasa terang benderang oleh cahaya obor. Anak-anak
muda menggunakan obornya untuk memainkan pencak silat (pencak obor). Obornya
telah dirancag agar dapat menyala di kedua sisinya yaitu sisi kanan dan
kirinya, sehingga bisa dimainkan bagai kilatan api yang bergerak berputar-putar
bagai sebuah atraksi yang menawan. Selanjutnya di bagian belakang pemain pencak
obor adalah kelompok music terbangan yang mengiringi sehingga suasana semakin
meriah dengan terbang dan jidhor (bedhug besar)
Tujuan pelaksanaan arak-arakan dengan obor ini
adalah sebagai syiar kepada masyarakat luas bahwa hari baru telada dating
dimana hari dengan cahaya yang akan menyinari dunia setelah sekian lama dalam
hari kegelapan yaitu hari-hari di jaman jahiliyah. Obor ke seluruh desa diharap
cahaya dari ajaran Nabi Muhamad ini dapatlah tersebar keseluruh dunia agar
terbebas dari jaman kegelapan seperti yang telah terjadi di masa Nabi Muhammad
SAW.
Setelah
arak-arak ini selanjutnya dikeesokan harinya semua warga masyarakat desa pergi
ke masjid untuk melaksanakan Serakalan. Judahang yang telah ikut diarak tadi
selanjutnya ditarud di masjid sebagai hiasan, dan besoknya telur hias tersebut
akan dibagikan kepada jam’ah serakalan.
C.
Gredoan
Gredoan dalam peringatan maulud nabi di
Banyuwangi di sini bukan berarti gredoan yang sperti dilakukan antara muda-mudi
di jaman sekarang. Jika kita melihat cuman sepintas dari makna katanya saja
mungkin gredoan akan lebih berkonotasi negative. Tetapi janganlah diartikan
seperti itu dulu sebab gredoan di sini adalah adat yang dilakukan untuk ajang
cari jodoh bagi masyarakat using di Banyuwangi.
Masyarakat Banyuwangi percaya bahwa di
bulan Maulud ini adalah bulan yang baik untuk mencari jodoh dan melakukan
pernikahan bagi pasangan muda-mudi yang telah cukup umurnya. Sebab melakukan
pernikahan bagi muda-mudi yang telah cukup umur dan sudah siap untuk menuju
jenjang pernikahan juga dianggap telah mengikuti sunnah Nabi.
Di malam sebelum pelaksanaan
Serakalan esok pagi masyarakat Banyuwangi khusunya di desa Macanputih dan di
dusun Cangkring biasanya melakukan adat gredoan ini. Di malam itu hampir di
semua rumah desa-desa tersebut menyiapkan makanan untuk acara esok pagi.
Masyarakat memasak makanan dan menyiapkan segala sesuatu untuk esok hari. Ada
yang membuat kue ada juga yang memasak makanan untuk disajikan di esok hari,
pada saat itulah biasanya para gadis desa yang masih lajang akan didatangi para
pemuda untuk gredoan. Gredoan di sini berarti saling menggoda untuk saling
mengenal agar bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan nantinya. Jika dalam satu
rumah di desa tersebut tidak mempunyai gadis yang masih lajang biasanya para
sanak saudara dari kampung dan desa lain akan diundang untuk dating ke desa
tersebut, agar pelaksanaan adat gredoan bisa dilaksanakan.
Jangan kira jika pemuda yang dating
langsung bisa bertemu langsung dan berhadapan, apalagi bisa menyapa dan
mencoleknya sebab gredoan di sini pertemuan antara gadis dan pemudanya masihlah
dipisahkan dengan bilik atau tembok. Para pemuda yang hendak berkenalan dan
menyapa hanya bisa dari jarak yang agak jauh dan terkadang dihalagi oleh bilik
atau dinding. Para gadis biasanya bearada di dapur membantu tuan rumah memasak
sedangkan para pemuda biasanya ada di ruang tamu atau ada di dinding
sebelahnya. Perkenalan atau percakapan biasany dilakukan dengan basanan
(berbalas pantun dalam bahasa using). Di sini adalah basanan yang biasa mereka
lakukan di saat gredoan:
Lancing
(Pemuda) : Nyang tembakon nyambang
sawahe ,…dik..
Milu takon sapa arane,…dik
Perawan
(Gadis) : Nyang tembakon aja lali
nyang tegalan,… Kang
Luruh kweni kakang dikongkon emake
Kadhung takon karia temenanan
Kadhung wani, paranana nyang umahe
Lancing
(Pemuda) : Nong tembakon duwe
tegalan
Wit nangka dienggo tanduran
Isun takon pancen yo temenanan
Merga isun dhemen temenan
Perawan
(Gadis) : Lonthong-lonthong thok
Kang,…
Ketane ring Srono
Ngomong-ngomong thok rika Kang,…
Nyatane sing ana
Setelah pelaksanaan adat gredoan
selanjutnya masyarakat desa Macanputih melakukan arak-arakan. Masih sama
seperti desa-desa lainnya di sana juga melaksanakan arak-arakan judhang ( pohon
hias dengan bunga telur). Tetapi
arak-arak di desa Macanputih lebih semarak lagi bahakn menyerupai pawai budaya.
Orang-orang yang ikut arak-arak merias wajah dan berpakaian sesuai tema
arak-arakan. Ada tokoh-tokoh santri jawa, ada juga seperti orang-orang dari
Arab dengan surban dan baju putihnya, namun ada juga yang menghias dengan
wajah-wajah seram sebagai gambaran jaman kegelapan atau jaman jahiliyah. Tidak lupa ada juga yang membawa obor dan
memaikan obornya seperti sebuah atraksi yang memukau. Disamping ada juga tak
ketinggalan music terbang dan hadrah yang mengiringi pawai tersebut. Di
perkembangan lebih lanjut sekarang di bagian depan biasanya di buka dengan grup
drumband/marchingband. Judhang di
sini di hias lebih kreatif lagi karena tidak melulu berbentuk pohon yang
berhias bunga dari kertas warna-warni tetapi lebih beragam bentuknya. Judhang
di desa Macanputih ada yang berbntuk seperti masjid, bentuk binatang unta dan
burouq, ada juga bentuk ka’bah . Bisa dikatakan peringatan Maulud Nabi di desa
Mcanputih adalh peringatan Maulud terbesar di seluruh wilayah kabupaten
Banyuwangi. Selesai arak-arakan masih sama seperti di desa-desa yang lain
mereka melanjutkan dengan serakalan.
Dari hamper semua pelaksanaan
kegiatan Maulud Nabi di ham,pir seluruh desa di Banyuwangi yang bisa dikatakan
sama adalah pelaksanaan serakalan. Apapun acara kegiatan untuk meramaikannya
yang jelas serakalan adalh hal yang utamna yang tidak ditinggalkan.
Arak-arakan, oncor-oncoran, ataupun gredoan mungkin tidak semua desa
melakukannya, tetapi serakaln pastilah selalu dilaksanakan. Peringatan maulud
Nabi di Banyuwangi memang identic dengan serakalan.
D.
Ancak-ancakan
Setelah melaksanakan serakaln
biasanya dilanjutkan dengan walimahan,
mangan ancak bareng ring masjid utawa langgar. Sedina sakdurunge masyarakat
biasane wis nggawe ancak sulung. Ancak aju digawa nyang Masjid utawa langgar ring
wayah dinane teka. Sakteruse ancak dikembul bareng sak marine maca shelawatan.
Ancak iku panganan arupo sego, iwak,
lan jangane pisan hang diwadahi (syukuran dengan memakan makanan berkatan).
Makanan ini dibawa oleh masyarakat dari rumahnya masing-pmasing lalu dikumpulkan
dan selanjutnya dimakan bersama setelah serakalan. Makan yang dibawa
ditempatkan dalam sebuah ancak (Tempat makan dari gedebong pisang yang
berbungkus daun pisang). Bentuk acak bias any empat persegi terbuat dari
gedebog pisang yang di silangkan bamboo di tengahnya. Diatasnya biasanya
ditancapkan kembang endhog (Hiasan bunga dari kertas yang diberi telur rebus di
tengahnya)
Di dalam masjid/surau sudah dihias
dengan judhang yang sebelum diarak keliling desa. Judhang-judhang tersebut
telah ditancapakan kembang endhog ( hiasan telur berbentuk bunga dari bahan
kertas warna-warni pada sebatang bambu). Jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan
warganya untuk membuat dan mengisinya dengan hiasan bunga telur yang
ditengahnya telah dipasang telur rebus. Sebelum walimahan biasanya kembang
endhog telah dibagikan utamanya kepada anak-anak dan selebihnya baru dibagikan
kepada semua peserta serakalan.
Tetapi justru di saat itulah
anak-anak biasanya kurang sabra menerima pembagian hingga mereka berebut dan
mengambil sendiri kembang endhognya dari judhang yang ada. Berebut kembang
endhig inilah yang biasanya menjadi kesan tersendiri bago anak-anak, dan disini
di isayaratkan sebagai syi’ar agama agar anak-anak semakin senang kepada agama
dan tetap senang pergi ke masjid/surau dan selanjutnya suka terhadapa tingkah
laku Nabinya yaitu Nabi Muhammad SAW.
E.
Kembang
Endhog
Yang tidak kalah menariknya juga
selain ancak-ancakan adalah kembang endhog. Kembang endhog terbuat dari telur
yang sudah direbus lalu ditusukan ke batang bambu yang panjangnya kurang lebih
satu jengkal dan diberi haiasan dari kertas warna-warni yang berbentuk bunga. Kembang
endhog itu bukanlah untuk sekedar permainan anak kecil belaka ataupun sekedar
hiasan tanpa makna. Kembang endhog bagi masyarakat Banyuwangi adalah sebagai
symbol atau perlambang kelahiran Nabi Muhamad. Telur merupakan symbol dari
kelahiran Nabi, sebatang bambu kering adalah symbol dari keringnya keimanan
sebelum kelahiran Nabi. Sedangkan bunga warna-warni adalah kembang iman dan
islam yang mulai bermekaran setelah kelahiran Nabi.
Di jaman sekarang kembang endhog sudah
banyak berubah bentuknya. Bukan saja berbentuk bunga saja tetapi telah
berkembang ke bentu-bentuk yang lain, seperti Barong-barongan, kapal-kapalan, bahkan
ular naga. Disadari atau tidak inilah wujud kreatifitas masyarakat Banyuwang
agar tradisi bisa tetap lesatri. Hal ini dimaksudakn sebenarnya hanyalah untuk
menyenangkan anak-anak seperti anjuran rosul untuk selalu menyenagkan dan
menggembirakan anak-anak, apalagi dihari kelahiran nabi.
F.
Arak-arakan
Endhog-endhogan dan Terbangan
Saat arak-arakan, kembang endhog
dipajang pada gedebog pisang yang telah dihias dengan kertas warna-warni.
Judhang yang terbuat dari gedebong pisang tadi selajutnya dipenuhi dengan
kembang endhog hingga penuh. Selanjutnya diarak keliling desa/kampung. Jodhang-jodhangtersebut
diarak diatas kendaraan seperti becak, dokar ataupun mobil bersama anak-anak
yang berpakaian muslim dan muslimah. Awalnya kegiatan ini sebagai syi’ar agama
dan bermaksud untuk menyebarkan agama islam kala itu. Di saat sekarang telah
diwariskan sebagai adat dan tradisi di Banyuwangi.
Arak-arakan tadi disusul dengan
alunan music terbang yang membahana. Terbang ini biasanya digunakan terbang
(rebana) yang jumlahnya paling sedikit 7 atau 9 rebana dilengkapi dengan Jidor
(alat music bedhug besar) ditambah Pantus (Bedhug sedang), Lencangan (Bedhug kecil),
dan kempul (Gong kecil), juga dengan Kethuk (Bonang kecil) dan sekarang masih
ditambah dengan orgen sebagai melodinya. Lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu Sholawatan
Nabi atau juga lagu-lagu islami lainnya.
Salah satu lagu terbangan yang sering dibawakan saat
arak-arakan terbang adalah lagu “Bulan Maulud”, seperti berikut ini :
Bulan maulud ..bulan yang utama
Bulan lahirnya gusti nabi kita
Tanggal duabelas..isnain harinya
Waktu fajar sodiq ..itulah
lahirnya,….dst)
Itu adalah lagu-lagu arak-arakan terbang di
jaman dahulu. Namun sekarang lagi-lagunya makin semarak dan yang ikut
arak-arakan bukan lagi hanya music terbangan namun juga ada Barong,bahkan
adapula yang arak-arakan dengan musik Drumband. Lagunyapun macam-amacam dari
lagu Banyuwangian, Kendhang Kempulan, ada juga lagu Dhangdut dan lagu Pop yang
lagi trend sekarang.
Memanglah jaman terus berputar dan
tiada hentinya. Menolak perkembangan jaman sepertinya juga tak semudah
membalikkan tangan Yang terpenting harusnya adalah niatan untuk tetap
melestarikan adat dan tradisi yang baik. Serakalan, Kembang Endhog. Oncor-oncoran,
Gredoan, Ancak-ancakan, Terbangan, Drumbenan, Dhangdutan itu semua ditujukan
untuk menunjukan rasa cinta dan kasihnya masyarakat Banyuwangi kepada
junjungannya yaitu Nabi dan rosul Muhammad SAW. Tetapi perlu diluruskanlagi
kiranya mana adat yang memang sesuai dengan peringatan maulud nabi dan mana
adat yang hanya numpang ataupun ikutan nebeng dalam peringatan Maulud tersebut.
Mana yang mempunyai dasar yang kuat untuk dilestarikan dan mana yang tak
mempunyai dasar untuk bisa ditinggalkan semua tergantung masyarakat Banyuwangi
yang memiliki tradisinya.