SENI TRADISI, ANTARA HIDUP DAN
MENGHIDUPI
Ditulis: Drs. Moh. Syaiful
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang
sebenarnya bisa dijadikan dasar untuk melestarikan seni tradisi, “Sapa hang
temen bakale tinemu”. Maksudnya kurang lebih jikalau kita mempunyai tekat yang
kuat dan bersung-sungguh pastilah akan menemukan hasilnya. Ungkapan ini
sepertinya selalu dijadikan dasar oleh seniman-seniman Banyuwangi di jaman
masa-masa keemasan gendhing-gendhing Banyuwangi di masa silam, kira-kira di tahun 1960 sampek tahun 1975-an. Di kala itu Seni
tradisi Banyuwangi bagaikan tanaman yang sedang berkembang, sehingga namapak
indah dan menarik perhatian. Seolah siapa saja pastilah tertarik dan senang
kepada bunga yang sedang berkembang tersebut. Begitu menariknya tanaman yang
sedang berbunga mekar hingga tentu saja banyak yang tertarik dan ingin
memilikinya. Gambaran itu kiranya nampak pada syair lagu karya Endro “Dhonge
Mekar”.
Dhonge mekar
kaya kembang menur elok ayu,
arum wangi nggugah ati
ngalor-ngidul,
aja kaget kadhung akeh
lancing padha ngerubut,
ati-ati rika nyawang
ulan meledhung,….
Satu bait lagu karya Endro wilis ini
memanglah sangat indah. Lagu tersebut sampai sekarang masih tetap dinyanyikan
banyak orang dan direkam ulang dengan aransemen yang baru. Aransemen baru itu
diantaranya ada yang digarap musik Gandrung, ana yang musik angklung, ada juga
kendhang kempul, malah-malah ada juga dangdut koplo. Di jaman lampau proses
garap atau proses penciptaan gendhing atau lagu masihlah menggunakan medium
angklung, sebelum musik Banyuwangi begitu pesat berkembang seperti saat ini. Angklung
di jaman itu masihlah satu-satunya instrument yang dipakai sebagai medium
garapnya. Di jaman sekarang sudah jarang sekali orang menggunakan instrument
ini sebagai media penyalur ekspresi untuk menciptakan gendhing/lagu. Munculnya
alat-alat musik modern dewasa ini menjadikan instrument daerah seperti angklung
ini terpinggirkan. Instrumen musik modern seperti orgen dan gitar membuat angklung
yang nilai praktinsnya kalah malah jadi terbuang. Yang dilakukan M. Arif, Endro Wilis dan pencipta jaman dahulu dalam
berproses memanglah menggunakan media angklung sebagai media/alat bantunya
sehingga karya yng tercipta sangatlah indah terasa melodi Banyuwangiannya.
Tidaklah salah jika kemudia membawa pada warna nada yang dihasilkannya, entah
itu pilihan nada, tempo juga tebal tipis dan warna suaranya. Yang jelas
angklung pastilah membawa pengaruh pada saat proses kreatif seorang pencipta
lagu.
Tradisi di Jaman Kini
Keberadaan kesenian angklung di
jaman kini, nasibnya tak ubahnya sama seperti kesenian tradisi lainnya. Seperti
nyala lentera yang berada di padang pasir yang luas. Nyalanya semakin surut
jika diterpa angina kencang. Nyalanya nanti akan kembali terang ketika anginnya
telah berlalu. Sepertinya memanglah hanya menunggu kapan akan padamnya yaitu
saat bahan bakarnya habis. Sekarang sepertinya Masyarakat Banyuwangi tinggal
berharap saja agar taka da angina topan atau badai yang dating hingga lentera
ini bisa bertahan sampai nanti bahan bakarnya habis dengan sendirinya. Namuin
jika ternyata angina topan atau badai itu benar-benar dating pastinya bukan
hanya nyalanya yang mati pastilah semuanya akan ikut terbang lenyap bersama
terpaan angina yang datang yang tidak jelas kemana arahnya.
Itulah gambaran sederhana dari
keberadaan seni tradisi khususnya kesenian angklung dan gandrung Banyuwangi
saat ini. Angin topan dan badai yang
kuat menerpa tadi adalah gambaran dari kuatnya arus globalisasi dan kemajuan
teknologi yang saat ini telah menjadi budaya baru diatara masyarakat modern di Banyuwangi
ini. Cobalah perhatikan dengan seksama pola pikir masyarakat saat ini. Salah
satunya adalah kebiasaannya yang lebih suka pada hal yang yang praktis-praktis dan
instant-instant saja. Seperti lebih daripada ngundang kesenian angklung yang jumlah
personilnya bisa mencapai 14-15 orang jika masih angklung selisih, bahkan jika
angklung caruk yang diundang pada hajatannya bisa-bisa jumlah personilnya dua
kali lipat jumlahnya mendingan ngundang electone/orgen
tunggal saja krena lebih sedikit personilnya.
Dalam hal kepraktisan dan
instant-nya pastilah electone/orgen tunggal tak akan dapat ditandangi oleh
angklung ataupun gandrung. Apalagi ditambah kemajuan di jaman digital ini, kendhang,
kethuk, biola kluncing (triangle), saron, dan angklung soundnya sudah bisa
deprogram dalam orgen/elctone. Maka dari itu orang sekarang berpikir lebih baik
mengundang electone/orgen tunggal saja sekarang toh hasil akhirnya juga sama.
Pemain electone/orgen cukuplah satu orang saja kemudian ditambah 3 atau 4 artis
saja bayarannya kurang lebih sama. Disamping yang terpenting jumlah konsumsi
yang ditanggung tidaklah sebesar electone/orgen tunggal. Cobalah jika
dibandingkan dengan mengundang angklung bisa-bisa pembekakan konsumsinya bisa
sampai 5 kali lipat. Belum lagi di jaman sekarang sudah sangatlah sulit untuk
mencari tanah yang lapang, sebab pergelaran angklung membutuhkan tempat yang
lebih luas. Mengundang kelompok angklunmg untuk satu pergelarannya membutuhkan
paling sedikit dua puluh meter persegi apalagi angklung caruk bisa-bisa butuh
lebih luas lagi dari itu. Dengan electone/orgen tunggal cukuplah panggung
dengan ukuran 2 kali 4 saja artisnya sudah bisa bergoyang bersama penontonnya.
Itu masih dalam hal praktis dan
instant-nya juga pada tempat, belum lagi dalam hal efisien waktu. Seumpama
mengundang angklung di pagi hari sett instrument dan perlengkapan lain ditambah
sett soundnya bisa-bisa membutuhkan waktu 3 jam lebih belum dapat langsung
pentas. Bandingkan dengan electone/orgen tunggal 15 menit di pesan 15 menit berikutnya
datang kemudian dipasang sudah bisa memenuhi permintaan yang punya hajatan.
Begitu pula dengan waktu bongkarnya jauh lebih cepat, orgen diangkat masuk ke
dalam mobil mini bus saja demikian juga artisnya, tak lebih dari sepuluh menit
semuanya beres dan tempat sudah bersih dari peralatan.
Sepertinya orang-orang jaman kini
hidup dalam kejaran waktu saja. Itulah salah satu ciri dari pola kehidupan
masyarakat yang modern tersebut.
Tradisi juga Bergengsi
Kembali lagi pada hal apa itu kesenian
tradisional yang sebenarnya. Jikalu boleh mengutip dari Wikipedia yang memberi
batasan terhadap kesenian tradisonal adalah, “A
tradition is a belief or behavior passed down within a group or society
with symbolic meaning or special significance with origins in the past..” . kurang lebih tradisi itu kecerdasan/kemampuan
yang dimiliki satu kelompok orang dalam masyarakatnya yang diwujudkan dengan
symbol atau tanda-tanda yang tidak dimiliki masayarakat lainnya dan murni
sebagai warisan turun temurun. Jikalau tradisi itu merupakan warisan secara
turun temurun tinggalah melihat saja yang diwarisi dari tradisi tersebut mau
atau tidak untuk meneruskan tradisinya dan kembali nantinya menurunkan kepada
generasi berikutnya. Dengan kata lain seni tradisi itu bisa hidup tergantung
dari masyarakat yang merasa memilikinya. Jika masih merasa memiliki lestarilah
seni tradisinya, tetapi sebaliknya jika masyarakatnya sudah tak bisa menerima warisan
tradisinya ya mati pulalah seni tradisi tersebut.
Dengan kata lain semuanya terserah
kepada kemauan masyarakatnya. Sebab bukanlah hal yang mustahil apabila seni
tardisi bisa hidup berdampingan dengan kehidupan modern saat ini. Bisa
dijadikan contoh misalnya adalah orang Jepang. Kita tahu semua bagaimana
majunya Negara Jepang, sebagai Negara dengan industri paling modern saat ini, apalgi dengan kehidupan ekonomi
masyarakatnya yang jaug lebih mapan dari Negara-negara yang telah lebih dulu
memulai kehidupan modernnya. Dengan kehidupan moderna saat ini yang dialami
orang-orang Jepang nyatanya mereka masih tetap memelihara tradisinya dengan
kuat. Di jaman seperti saat ini tidaklah
aneh jika di sanan masih banyak orang yang memakai baju Kimono dan Yukata berjalan-jalan
di jalan umum. Begitu pula dengan seni musiknya, orang Jepang masih suka
memainkan shamisen (musik tradisional khas Jepang). Mereka tidak malu justru
mereka bangga bisa memainkannya. Sudah pasti di sini terlihat orang Jepang
masih ingin tradisinya terus hidup dan dapat menghidupi masyarakatnya.
Nomer Pertama
Sekarang anggap saja kalau
masyarakat Banyuwangi masih mau memelihara dan melestarikan seni tradisinya.
Seharusnya apa yang bisa diperbuat untuk tetap bisa memelihara dan melestarikan
seni tradisinya tersebut. Pertama pastinya harus ada perubahan mindset (pola
pikir) untuk tetap mau dan mengakui bahwa seni tradisi tersebut merupakan asset
bangsa dan Negara ini. Kesadaran akan hal ini semestinya dibina dan
dipertahankan pada kehidupan masyarakatnya. Jika hal itu sudah dapat terlaksana
dengan baik selanjutnya adalah tugas dari pemerintah yang mempunyai kekuasaan
untuk membuat kebijakan untuk melindungi dan tetap melestarikan seni
tradisinya. Selanjutnya pemerintah bersama jajaran terkaitnya membuat kebijakan
kalau perlu undang-undang yang bisa mengatur dan berupaya melindungi seni seni
tardisi tersebut. Hal ini tentunya tidak sulit untuk dilakukan mengingat era
otonomi daerah seperti saat ini sangat memberikan keleluasaan untuk mengatur
daerahnya sendiri. Pemerinyah daerah mempunyai wewenang mengatur daerahnya
apalagi usaha-usaha itu adalah usah yang positif bagi kelangsungan seni tradisi
di daerahnya sendiri.Bukankah Kepala pemerintahan di daerah mempunyai wewenang
yang penuh di daerahnya sendiri.
Marilah kita coba bercermin pada
sejarah yang baru-baru saja terjadi di Banyuwangi ini. Masih segar pada ingatan
kita saat Banyuwangi di bawah kepemimpinan Bupati Samsul Hadi. Bupati yang satu
ini sudag terkenal begitu cintanya pada kesenian tradisi Banyuwangi. Saat itu
dimana-mana orang menyanyikan lagu “Umbul-umbul Belambangan”. Kenapa ini
terjadi karena Bupati saat itu memang mengupayakan lagu ini sebagai lagu wajib
selain lagu wajib Nasional Indonesia Raya untuk dinyanyikan diacara-acara resmi
di wilayah kabupaten Banyuwangi. Tidak salah kiranya selanjutnya orang-orang
begitu bersemangat untuk belajar lagu “Umbul-umbul Belambangan”.
Atau kalau kita mau mundur lebih
jauh lagi sedikit di era tahun 1970-an saat pememrintahan bupati Joko Supaat
Slamet (Almarhum). Bupati ini justru membuat instruksi untuk terus tetap
melestarikan kesenian tradisi Banyuwangi. Dari beliau inilah nanti lahir “Angklung
Daerah Banyuwangi”. Angklung ini sebenarnya merupakan perkembangan dari Angklung
Bali-balian (Tabuhan Bali) yang ditambah dengan instrument gandrung yaitu biola,
kethuk, lan Kluncing. Saat itulah Angklung Banyuwangi kembali makin marak
setelah sebelumnya suram di awal-awal pemerintahan orde baru. Hal ini
dikarenakan ada trauma yang berlebihan terhadap angklung setelah angklung
Banyuwangi dijadikan alat propaganda oleh Lekra/PKI. Padahal sebenarnya bukan
orang Lekra/PKI saja yang berkiprah pada kesenian angklung. Partai lain seperti
PNI dengan LKN juga memanfaatkan angklung sebagai propagandanya. Ibaratnya ini
sbuah trauma yang akut yang menghinggapi masyarakat Banyuwangi untuk
berkegiatan seni saat itu. Orang-orang yang dianggap PKI dengan genjer-genjer-nya
banyak yang dipenjara dan bahakan pula banyak yang dibunuh. Walau sebenarnya
tidak semua orang-orang itu mengerti dengan kegiatan ke-partaian. Beberapa
diantaranya hanyalah sebagi pengikut kesenian saja, karena kecintaannya pada
dunia seni. Carut-marutnya politik saat itu telah menyamaratakan partai politik
dengan kesenian. Penggiat kesenian yang terlibat dalam Lekra banyak yang
dipenjara bahkan adapula yang tidak diketahui kemana rimbanya sampai saat ini.
Musik angklung sebelum dikembangkan seperti di masa
Bupati Joko Supaat Slamet masihlah dalam musik dengan instrument pukul
(Idiophone) diantaranya angklung bumbung itu sendiri dan bilahan besi seperti
slenthem, saron, dan peking. masuknya instrument biola dan sinden adalah
pembaharuan yang mengesankan di sana. Daris sin menampakan pembaharuan yang
mengupayakan bukan sekedar melestarikan tetapi adalah upaya untuk lebih
mengembangkan lagi.
Langkah Kedua
Langkah kedua , seharusnya dari
kebijakan berupa instruksi ataupun undang-undang ataupu apa bentuknya tadi
dilanjutkan dengan tindakan nyata dari lembaga-lembaga kesenian baik itu
bentukan pemerintah ataupun lembaga masyarakat lainnya. Lembaga-lembaga pemerintah
seperti Dinas Pariwisata dan kebudayaan, Dinas Pendidikan, juga Dewan Kesenian
Blambangan (DKB) adalah motor utamanya. Pada lembaga-lembaga kesenian di bawah
pemerintah seperti Dewan Kesenian Blambangan ini adalah tempatnya para ahli seni
berkumpul seharusnyalah lembaga ini memiliki program yang konsisten dalam hal
pembinaan dan pengembangan kesenian tradisi. Program terhadap pembinaan dan
pengembangan kesenian tradisi sudah semestinya mendapat prsi yang lebih besar
disbanding kesenian lainnya mengingat keberadaan kesenian tradisi saat ini yang
sudah lebioh memprihatinkan jika dibandingkan dengan kesenian modern lainnya.
Bagaimana bentuk pembinaan dan
pengembangan itu seharusnya telah deprogram terlebih dahulu dan dibicarakan
bersama semua anggota Dewan Kesenian Belambangan bersama para seniman tradisi.
Sudah selayaknya Dewan Kesenian menampung kelutujuan pembinaan dan
pengembangannya. Langkah-langkah terobosan yang berani namun bertanggung jawab
seharusnya diberikan agar seni tradisi dapat berkiprah dan dapat menggelar
karyanya kepada masyarakat luas. Programe Pemda saat ini yang memberikan tempat
kepada para seniman di Banyuwangi untuk berekspresi pada malam minggu di Taman
Balambang adalah salah satu langkah yang bisa diterima masyarakat seni di
banyuwangi. Ini harus dipertahankan dan diperlebar sampai ke daerah-daerah
lainnya di wilayah Banyuwangi. Apalagi sekarang hampir di setiap kecamatan
telah memiliki kecamatan wis duwe Ruang Hijau Terbuka (RHT) ini bisa dijadikan
sarana mengangkat seni tardisi di daerahnya. Misalnyan malem Minggu ini di
kecamatan Kabat ada pementasan Angklung,
malem Minggu berikutnya di Cluring pementasan Umar Maya (Rengganis), malam Minggu
seterusnya di Glagah pementasan Barong, Malam Minggu ke depannya
lagi di Genteng pementasan Hadrahan(Kuntulan)
begitulah seterusnya dalam setiap bulannya, jadi tidak hanya ada pementasan di
wilayah kota saja seperti saat ini di Taman Balambangan. Bukanlah hal yang
mustahil kabar serta berita ini bisa sampai ke mancanegara di jaman Globalisasi
ini kabar yang sekecil apapun di daerah seterpencilpun bisa menyebar kesluruh
penjuru dunia.
Hal seperti ini bisa mengingatkan
kita pada kota kecil di Jepang yaitu Osaka. Kota ini sudah melaksanakan sebuah
festival yang ajangnya sampai tingkat insternasional. Tahun 2006 di Osaka diselenggarakan Festival Midosuji,
festival seni tardisi tingkat Internasional yang diikuti 18 negara. Pada saat
itu Indonesia diwakili Banyuwangi untuk ikut dalam festival internasional ini. Banyuwangi
saat itu hanya membawakan Jejer Gandrung
dan tari “Jaran Goyang”. Namun penghargaan dari penonton pada festival itu
sungguh luar biasa, standing applause (bentuk
penghargaan yang setinggi-tingginya dari peserta lainnya saat itu) kepada seni tradisi
Banyuwangi.
Seandainya saja Banyuwangi dapat
melakukan upayta seperti yang dilakukan Osaka. Sepertinya hal ini bukanlah
mimpi siang bolong bagi Banyuwangi yang telah memiliki potensi yang cukup untuk
berbuat kea rah sana. Barangkali tinggal niat dan usahanya saja yang perlu
dipertegas agar tujuan itu bisa sampai pada akhirnya. Kari niate mau ana tah
sing. Niat nguri-uri kesenian Banyuwangi dienggo urip lan nguripi kesenian
tradisional iku mau.
Ketiga
Yang berikutnya ketiga adalah masyarakat
Banyuwangi itu sendiri. Lalu, masyarakat golongan mana yang harus didahulukan.
Seharusnya yang pertama adalah golongan masyarkat yang mempunyai uang lebih,
yaitu pengusaha. Pengusaha yang mana, tentu saja adalah pengusaha rekaman CD dan
kaset. Coba kita amati saja yang telah diperbuat para pengusaha rekaman CD dan
kaset tersebuta saat ini. Begitu muncul musik-musik modern seperti saat ini, musik
gandrung dan angklung di Banyuwangi mulai dipinggirkan. Hampir smua produser
rekaman sudah tidak berani lagi memproduksi gendhing-gendhing/lagu-lagu baru
dengan aransemen angklung atau gandrung. Gendhing/lagu selalu digarap dengan kendhang kempul/dhangdut koplo terlebih
dulu, jika gendhing dan lagu bisa bomming di pasaran barulah ada aransemen
angklung dan gandrungnya. Seperti contohnya “Mendhung Cemeng” nya Imam Rosidi,
terus “Aja Cilik Ati”, “Sing duwe Isin”, “Semebyar” Catur Arum. Ada ketakutan
jika produser nantinya akan rugi besar jika membuat angklung dan gandrung. Gendhing-gendhing/lagu-lagu
yang telah laku keras di pasaran selanjutnya produser mau membuat versi
gandrung/angklungnya. Tetapi semua produksi sep[ertinya sudah diatur oleh
produser rekaman, dari mulai lagu yang akan dipasang dalam albunya ,
penyayi/sindenya bahkan pemain musiknya. Umpama saja “Mendhung Cemeng” harus dinyayikan Mbok
Supinah, Semebyar oleh Mbok Koesniah dan lain-lainnya. Mau bagaimana lagi jika
seniman di Banyuwangi sekarang sudah diatur oleh pihak produser. Jika tidak
demikian seniamn tidak akan mendapat kesempatan untuk mengaktualisasikan
dirinya. Rasanya belum cukup jika seniman angklung dan gandrung hanya menunggu tanggapan manggung dari masyarakat saja.
Ya dengan terpaksa memang harus menerima kemauan sang produser rekaman.
Langsung kita ambil saja contoh
nyata, Mbah Jokir seniman gandrung Banyuwangi. Orang dari kecamatan Gambiran ini
sudah lama bergulat dengan gandrung di Banyuwangi. Beliau adalah salah satu
orang yang masih dipercaya produser rekaman untuk produksi Gandrung. Coba berapa produksi rekaman dalam
setahunnya yang b isa dilakukan Mbah Jokir. Tidak banyak sekali setahun atau
dua kali itupun sudah sangat banyak. Lalu berapa produser rekaman yang mau
bekerja sama dengan Mbah Jokir, satu atau dua saja itu juga sudah sangat banyak
bagi seniman gandrung ini. Produser yang lain kebanyakan tidak berani untuk
produksi gandrung Ring. Selalu dengan alasan pasaran masih sepi. Selalu begitu
produser berkilah, padahal rekaman koploan dangdut di pasaran, selalu ramai.
Beginilah nasib kesenian tradisi Banyuwangi di rumahnya sendiri.
Selanjutnya setelah msyrakat dari
golongan pengusaha yang juga sangat penting adalah seniman itu sendiri (pelaku
seni). Seniman di sini adalah seniman yang mempunyai kreatifitas dalam dunia
seni tradisi. Seniman pengarang lagu/gendhing yang diutamakan. Seniman ini
sudah seharusnya mempunyai tekat yang kuat untuk bisa membuat karya
gendhing/lagu yang berkualitas. Itupun bukan berarti karya seniman-seniman
sekarang tidak baik. Namun sekarang ini sepertinya arahnya sudah akan nampak ke
sana. Membuat gendhing/lagu sangat cepat dan instan, sekarang dipesan besuknya
sudah di rekam. Sehingga banyak lagu yang mengkopi dari lagu-lagu yang sudah
terkenal, diganti syairnya dirubah sedikit melodinya jadilah gendhing/lagu
sesuai permintaan. Yang penting produser mau dan dengan promo sedikit laku di
pasaran. Beginikah selayaknya seniman Banyuwangi yang sudah terkenal sejak dulu
dengan kekuatan adat dan tradisinya?...
Perlulah kita pikir sejenak, mampukah
seniman-seniman semacam ini bisa terkenal dan bisa membawa harum nama
Banyuwangi di kancah dunia seni dalam naungan bumi Nusantara ini? Bisa diingat
barangkali bagaimana seniman-seniman jaman dahulu berkiprah dalam karya-karya
seninya. Di tahun 1960 Endro Wilis dengan karya gendhing “Ulan Andhung-andhung”
bisa merambah ke seantero Nusantara. Gending/lagu yang di Singapura dengan piringan
hitam dibuat dimaksudkan untuk menandhingi gendhing/lagu “Genjer-genjer” yang
sudah terkenal terlebih dahulu yang dibawakan Bing Slamet. Sejak saat itu
gendhing/lagu “Ulan Andhung-andhung” bisa terkenal bersama penyanyi asli
kelahiran banyuwangi yaitu Emilia Contesa. Setelah itu siapa yang tidak
mengenal lagu ini, lagu dengan syair yang puitis dan sudah diakui keindahan
lagunya di Nusantara ini. Kemudian baru saja terjadi Istana Negara lagu ini
kembali dibawakan dalam paduan suara pada Hari Kemerdekaan RI tahun 2013. Ini
saking menariknya gendhing/lagu8 ini untuk diaransemen, sehingga terpilih
diantara ribuan lagu daerah yang ada di Nusantara ini..
Itu baru salah satu dari sekian
banyak pencipta gendhijng/lagu Banyuwangi. Masih banyak lagi pencipta
gendhing/lagu Banyuwangi lainnya yang karyanya juga sempat terkenal ke
Nusantara ini selain Endro Wilis seperti, M. Arief, BS Noerdian, Andi Soeroso, Andhang
CY, yang bisa dijadikan contoh jika pengarang atau pencipta lagu yang sangat
serius dalam berkarya seni.Cobalah diamati lagu M. Arief di bawah ini;
AMIT-AMIT
Amit-amit
sedulur hang podho nyakseni
Kito kabeh njaluk maklume lahir batin
Gendigan iki gending aseli Banyuwangi
Blambangan tanah Jowo pucuk wetan
Amit-amit kito njaluk dititeni
Kadung luput ageng alit sepurane
Ayo dulur kekurangane apekeno
Wong hang nganggit kepinterane durung sempurno
Amit-amit kumandange nyudulo langit
Semebaro nyerambahi Nusantoro
Ayo dulur podo guyubo nang Budoyo
Urun-urun njunjung derajate Bongso
Kito kabeh njaluk maklume lahir batin
Gendigan iki gending aseli Banyuwangi
Blambangan tanah Jowo pucuk wetan
Amit-amit kito njaluk dititeni
Kadung luput ageng alit sepurane
Ayo dulur kekurangane apekeno
Wong hang nganggit kepinterane durung sempurno
Amit-amit kumandange nyudulo langit
Semebaro nyerambahi Nusantoro
Ayo dulur podo guyubo nang Budoyo
Urun-urun njunjung derajate Bongso
Gendhing/lagu ini menunjukkan karakter
seniman Banyuwangi yang sebenarnya Memiliki sikap santun rendah hati mempunyai
kemampuan namun tidak sombong sombong. Lagu “Amit-amit” jikalau diterjemahkan
secara bebas ke bahasa Jawa kira-kira maksudnya adalah “nyuwun sewu” atau
permisi jika diartikan ke bahasa Indonesia. Selain itu pencipta gendhing/lagu
juga ingin menunjukan kreatifitas seniman Banyuwangi dan kemampuannya dalam hal
seni yang tinggi namun tetaplah rendah hati. Disamping itu juga digambarkan
tentang cita-cita luhur seniman Banyuwangi yang ingin meningkatkan derajat Nusa
dan Bangsa melalui Kesenian.
Kalau diamati dari pilihan nadanya
gendhing/lagu ini adalah lagu yang smestinya adalah lagu untuk p[ilihan pada
lomba nembang/nyanyi. Pilihan nada-nada dari yang paling rendah dan yang paling
tinggi hampir dengan interval 3 oktaf jika diukur dengan Tangga Nada Diatonis. Supinah
sinden terkenal dari Banyuwangi saja
jika menggunakan instrument dan larasnya P. Mitro atau laras Angklung Bolot
pastilah tidak nyampai apalagi menggunakan nada dasar pada bem 3. Bisa
dikatakan lagu ini bisa mengukur kemampuan vokalisnya dalam hal teknik vocal.
Tidak salah gendhing/lagu ini selalu menjadi pilihan dalam membawakan tembang lomba/festival
ring Banyuwangi, entah itu lomba Patrol, lomba angklung atau lomba nembang/nyanyi.
Walaupun tidak semua gendhing yang memakai nada hingga interval 3 oktaf mesti
lagu yang bagus.
Nomer Papat
Yang tidak kalah pentingnya tentulah
pelaku seni langsung yang berkiprah pada karaya seni tersebut yaitu; panjak/musisi,
gandrung, penari, penyanyi atau sinden. Karena dari tangan pelaku seni inilah
sebagai ujung tombak seni tradisi ini bisa hidup dan untuk menghidupi masyarakatnya.
Tidak bisa dipungkiri jikalau seni tradisi ini bisa maju dan berkembang dan
merambah sampai ke dunia Internasional hasilnya juga akan langsung dinikmati
oleh pelaku seni itu sendiri. Dengan kata lain pastilah hasil dalam bentuk
materi akan mengalir ke tangan-tangan mereka.
Tidak salah kiranya jika pelaku seni
di Banyuwangi menimba ilmu musik modern atau ilmu musik barat. Itu bisa
dijadikan dasar sebagai pijakan dalam mengembangkan musik tardisi yang telah
dimiliki sebelumnya. Ini bisa dijadikan penguat bagi pemgembangan berikutnya.
Ini sebenarnya adalah contoh nyata, banyak
gendhing lama yang dulu digarap kemudian di jaman sekarang di aransir dengan
pemikiran dan ilmu musik modern menjadikan gendhing/lagu ini makin baik dan
makin bisa diterima di semua kalangan. Sebagai contoh adalah garapan musik kendhang
kempul Sutrisno, Orkes Tawang Alun, dan lain-lainnya. Ada juga dengan aransemene baru dan merubah
total aransemen lama justru membuat gendhing/lagu itu makin bagus dan makin
cocok pada masanya. Catur Arum bisa
dipakai contohnya di sini. Seniman mampu membawakan gendhing/lagu dengan
karakter baru walau itu gendhing/lagu lama yang dibawakan. Gendhing/lagu “Perawan
Sunthi” yang dibawakannya dengan aransemen bosas, dan dengan intrepretasi khas Catur Arum nyatanya bisa membuat lagu ini hit
kembali di jaman kini. Belajar musik barat emamnglah tidak harus menghilangkan
ilmu musik tradisinya.
Karakter dan prinsip yang kuat sudah
semestinya dimiliki para seniman. Karakter yang didasari dari tanah
kelahirannya, tanah Banyuwangi. Yang senimannya dahulu telah dikenal di bumi
Nusantara tercinta ini. Kesenian Banyuwangi sebenarnya sudah memiliki dasar
yang kuat yaitu kebudayaan Blambangan yang sejatinya adalah kebudayaan
Majapahit. Seniman-seniman yang lahir di sini patutlah dapat berjalan tegak dan
tengadah lebih kuat dengan dasar yang telah dimilikinya. Seniman Banyuwangi yang
telah diwarisi kebudayaan Majapahit mestinya adalah seniamn-seniman reatif karena
telah lebur dalam terpaan kerasnya perubahan dari jaman ke jaman. Seniman
Banyuwangi harus terus mampu membangun dan selalu mengasah kemampuannya agar
dapat terus mengembangkan kemampuannya dalam berkarya dan berolag seni.
Nomer Lima
Golongan
masyarakat kelima adalah golongan masyarakat penikmat seni tradisi.Golongan ini
dijadikan sasaran terakhir yang tentu saja tidak bisa dipandang remeh sebelah
mata. Siapa lagi golongan tersebut selain masyarakat pecinta dan penikmat seni
tradisi. Masyarakat di sini punya andil yang sangat besar dalam upayanya untuk
tetap menghidupi seni tradisinya, utamanya dalam hal materi berupa dana. Masyarakat
penikmat dan pecinta seni tradisi sudah selayaknya ingin menikmati seni tradisi
yang bukan hanya itu-itu saja, tentunya yang seni yang tidak membosankan. Untuk
itu permintaan para penikmat/pecinta seni tradisi dapat dimengerti oleh seniman
maupun pencipta gendhing/lagu. Sudah menjadi hokum di dunia ini yaitu ada yang
menjual da nada yang membeli. Meskipun masyaraktlah sebagai pemilik dana namun
bukan berarti semua permintaan dan keinginannya dapat dipenuhi semuanya. Sebab
golongan masyarakat di sini juga masih terbagi dalam kelompok-kelompok
masyarakat yang tingkat apresiasinya sangat beragam.
Jika diibaratkan dengan orang yang
berjalan menuju satu tujuan, semestinya mempunyai titian agar perjalanannya
tidak nyasar dan sampai ke tujuan. Di sinilah peran pelaku seni yang seharusnya
tetap konsisten pada titian yang telah dibuat orang-orang terdahulu. Janganlah
sampai titiannya hilang hingga bisa tersesat dan kehilangan arah di jalan.
Tujuan yang diharapkan tetaplah harus disepakati bersama uatamanya dari lima
golongan masyarakat tersebut.
Menyatukan Tekat untuk Melestarikan
Singkat
cerita, melestarikan kesenian tradisi Banyuwangi adalah menjadi tugas bersama. Semua
orang yang merasa memiliki dalam tekad yang sama dan bersama-sama mewujudkannya. Kebersamaan kiranya dapat
lebih ringan untuk menjaga tetap menyalanya lentera yang berada di tengah
padang yang luas. Jika nyala lenteranya akan padam mestinya akan banyak yang
dapat kesempatan untuk menyalaknnya kembali. Dan jika nyala lentera diterpa
angin. Dalam kebersamaan menupayakan lestarinya seni tradisi kiranya dapat
meringankan tugas yang berat, Insya-Allah dapat terwujud.
Bentuk dari perwujudan seni tradisi
yang merupakan kecerdasan dari suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara
turun-temurun tersebut harusnyalah tetap bisa diterima apapun keadaannya. Warisan
turun-temurun ini dapatlah menjadi ciri khas sebagai kekayaan budaya Banyuwangi
dapatlah kiranya tetap dijaga dan dilestarikan. Dan janganlah cuman sekedar
dipandang dan dibiarkan terpajang di dalam gedung sebuah museum. Sangat sayang jika
tidak dirawat dan dijaga sebab para leluhur tidak mudah untuk dapat
mewujudkannya. Tekat yang kuat untuk tetap melestarikan warisan leluhur ini
harus selalu dimiliki para keturunannya.
Dapatlah dikatakan sebenarnya hidup
dan matinya seni tradisi itu terfantung dari masyarakat yang memilikinya.
Jikalau masyarakatnya masing merasa memiliki dan tetap ingin tetap meilikinya
maka akan tetap hidup pula seni tradisi tersebut dalam masyarakatnya.
Kesepakatan untuk dapat tetap melestarikannya haruslah ada usaha utamnya dari
kelima golongan tersebut. Usaha nyata pada masing-masing bidang pada ke lima
golongan tersebut akanlah dapat menjadi banteng yang kuat untuk memajukan dan
mengembangkan seni tardisi di daerahnya. Jika diibaratkan sebuah musik
orchestra, meskipun kelima golongan tersebut bekerja di bidangnya masing-masing
namun tetaplah harus menjadi satu kesatuan bunyi yang terpadu indah dan nyaman
untuk di dengar. Siapa saja yang kuat dalam berusaha dan mempunyai tekad yang
kuat untuk mewujudkan tujuannya bisa dipercaya nanti pastinya akan mendapatkan
hasilnya.
Banyuwangi, 22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar