Senin, 21 Mei 2018



ANGKLUNG PAGLAK
DAN NILAI-NILAI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA
Moh. Syaiful
                       
ASAL MULA ANGKLUNG
            Angklung adalah alat musik bambu dengan bilahan atau tepatnya tabung bambu yang tersusun dari nada terendah hingga nada tertinggi. Nada-nadanya tersusun dalam tangga nada selendro Banyuwangian. Sengaja menyebut dengan tangga nada selendro Banyuwangian, hal ini untuk membedakan dengan tangga nada Selendro Jawa Tengahan. Angklung Banyuwangi biasanya tersusun dalam tiga oktaf tangga nada pentatonis selendro Banyuwangian dengan 15 nada. Nada rendahnya berada pada bagian sebelah kiri  penabuhnya selanjutnya tersusun  berurutan sampai nada tertingginya berada disebelah kanan.
            Angklung sendiri adalah alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Banyuwangi. Menurut keterangan Buku Djawa : Over Muziek in Het Banjowangi Sche dalam tulisan Sumitro Hadi “Konsep Diskripsi Kesenian Angklung Caruk” dijelaskan  Angklung Paglak mulai menggeliat lagi di  tahun  1926. Berarti hal ini kurang lebih bersamaan dengan pengembangan Angklung di Jawa Barat yang dipelopori oleh Daeng Sutigna di tahun 1930, ketika Daeng Sutigna dan Pak Djadja yang merubah angklung dalam nada pentatonik Sunda menjadi nada Diatonis Barat. Tetapi menurut beberapa sumber Angklung Banyuwangi sudah ada sejak tahun 1918.
            Terlepas dari kapan tepatnya keberadaan angklung di Banyuwangi, yang perlu digaris bawahi kiranya adalah resistensi angklung Banyuwangi yang kuat bertahan pada tardisinya dari pengaruh kesenian lainnya utamanya adalah seni musik barat. Angklung Banyuwangi sampai saat ini masih tetap tak bergeming dari pengaruh musik barat seperti yang dialami oleh angklung Jawa Barat yang telah merubah tangga nadanya dari pentatonik Sunda yang sangat spesifik menjadi diatonik barat yang universal.
            Tangga nada selendro Banyuwangian pada musik angklung Banyuwangi telah memiliki identitas tersendiri dalam kancah berkesenian tradisional di Nusantara ini. Tangga nadanya yang unik ini memberikan kesan yang romantic-melodius mampu membawa pendengarnya dalam suasana kehidupan naturalis yang romantis. Tidak salah jika beberapa ahli musik barat yang pernah mendengarkan nada-nada pada musik angklung menyatakan bahwa, ini adalah musik surga. Beberapa ahli musik gamelan jawa mengatakan, nada-nada pada musik angklung Banyuwangi mempunyai interval yang khas yang sangat berbeda dengan tangga nada musik gamelan Jawa. Hal ini merupakan kekayaan musik Nusantara yang harus tetap dijaga dan dilestarikan keberadaanya sebagai khasanah musik tradisi yang ada di Nusantara.
            Satu ajaran tentang nilai-nilai kehidupan telah diberikan oleh musik angklung. Nilai-nilai ketahanan dalam menjaga tradisi leluhur terus dipegang teguh agar tidak mudah terpengaruh budaya luar. Kekuatan untuk menjaga dan melestarikan tangga nada slendro Banyuwangian di tengah gempuran tangga nada diatonik yang makin popular pada masyarakat saat ini adalah bukti sebuah ajaran yang secara simbolis ditunjukan oleh musik angklung Banyuwangi. Sikap menghargai warisan leluhur kemudian diperkuat dengan nilai-nilai pelestarian warisan leluhur merupakan salah satu dari nilai-nilai karakter budaya masyarakat yang ada di Banyuwangi yang harus terus dijaga untuk kelangsungan budaya bangsa ini.

ANGKLUNG PAGLAK PADA PUNCAK
            Sudah tidak banyak lagi saat ini desa-desa di Banyuwangi yang masih mempertahankan angklung di pondok-pondok kecilnya. Di jaman dulu angklung dibunyikan di pondok-pondok kecil tengah sawah sambil menunggu musim panen datang.  Angklung ini mengiringi kehidupan para petani di desa pada saat-saat penting dalam kegiatan pertanian. Musim panen tentu adalah salah satu kegiatan penting dalam kehidupan para petani. Di saat itu musik angklung di bunyikan dari atas pondok tengah sawah hingga terdengar ke seluruh desa.
            Angklung yang di bunyikan dari atas pondok kecil tengah sawah ini kemudian di kenal dengan  angklung paglak. Paglak sendiri dalam kamus Using-Indonesia berarti pondok kecil tengah sawah yang lantainya di buat di ketinggian. Ketinggian paglak akan mempengaruhi jauh tidaknya suara angklung merambat. Dari  ketinggian akan lebih sedikit penghalang yang akan menahan dan mengedapkan suara angklung. Maka dari itu tidak heran jika suara angklung akan terdengar sampai ke luar wilayah desa-desa yang lain.
            Biasanya paglak ini dibuat diantara lima sampai sepuluh meter dari tanah. Penabuhnya akan memanjat dengan tangga atau dalam istilah Banyuwanginya ondho lanang. Ondho lanang adalah tangga terbuat dari bambu yang hanya memiliki satu tonggak bambu kemudia diberi titian di setiap ruasnya. Adalah sebuah kebanggaan tersendiri saat itu bila bisa membunyikan angklung dari paglak yang tinggi. Setidaknya kabar dari wilayah pertanian miliknya akan dapat di dengar dari wilayah desa lain. Misalnya saat nggetaki (saat mengusir burung ketika padi sudah mulai menguning) atau saat panen.
            Bunyi dari angklung paglak dari ketinggian pondok tengah sawah adalah isyarat pemberi kabar kepada masyarakat di sekitarnya. Bila suara angklung telah dibunyikan dengan gendhing (lagu) tertentu memberi pertanda saatnya harus berkumpul untuk bergotong royong di sawah. Kehidupan gotong royong yang telah terbangun sejak lama di desa-desa Banyuwangi umumnya telah memberi kesadaran yang tinggi pada masyarakat untuk datang memenuhi panggilan suara angklung. Selanjutnya masyarakat akan datang berbondong-bondong  bergotong royong saling membantu pekerjaan di sawah.
            Di atas pondok kecil tengah sawah tersebut telah disediakan satu set angklung bambu yang terdiri dari dua unit angklung. Dua orang akan memainkan angklung tersebut dimana satu orang sebagai pembawa gendhing ( membawa melodi utama) dan yang satunya akan nimpali ( memberi iringan ). Keduanya akan memainkan beberapa gendhing tanpa vokal (musik intrumentalia). Gendhing yang dipilih sesuai dengan keinginan pemain tanpa harus memperhatikan apa yang diingini oleh pendengar yang ada di bawahnya.
            Dari hal ini bisa digambarkan betapa musik angklung sebagai sarana penyampai informasi komunal yang mampu mengikat masyarakatnya dalam sebuah tatanan yang terbangun dalam masyarakatnya sejak dulu. Musik angklung yang menggema dari sebuah tempat di sawah milik masyarakat akan memberi kesadaran kepada masyarakat yang lain untuk berkumpul dan peduli akan  kepentingan orang lain.
            Di saat panen misalnya, musik angklung akan dibunyikan dengan bergemuruh mengiringi kegiatan panen di sawah. Gendhing-gendhing yang dibawakan seolah mensugesti orang-orang yang mendengarnya untuk terus berkegiatan tanpa mengenal lelah. Banyuwangi sebagai salah satu wilayah dengan potensi pertanian yang besar sangat memerlukan semangat dan tenaga yang besar untuk mengolah pertaniannya. Musik angklung  dalam masyarakat agraris telah menjadi bagian terpenting dalam membangun motivasi berkegiatan. Musik ini  akan memberi dorongan yang kuat pada jiwa pendengarnya untuk berkegiatan tanpa mengenal lelah untuk mencapai hasil yang maksimal.
            Dari sini pula dapat dipetik satu ajaran tentang nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama. Dimana nilai-nilai tersebut sekarang ini telah mulai pudar tergerus oleh kuatnya arus kehidupan masyarakat modern sekarang. Di sini angklung telah menjadi bagian penting dalam penanaman sikap-sikap tersebut. Nada-nada yang dibunyikannya telah mampu menggerakkan orang-orang secara sadar untuk berkumpul di suatu tempat. Sekedar mendengar musik angklung yang dibunyikan dari pondok kecil di tengah sawah atau dapat membantu yang empunya sawah adalah sikap peduli yang  selama ini masih terpelihara dalam masyarakat desa di Banyuwangi.
           
ANGKLUNG PAGLAK KEMIREN
            Pada jaman dahulu di desa adat Kemiren angklung paglak dibunyikan pada saat panen tiba. Paglak yang dibuat di tengah sawah dengan ketinggian sampai sepuluh meter dari tanah ini dimaksdukan untuk menghibur orang-orang yang bekerja di sawah saat panen tiba.
            Dalam perkembangan lebih lanjut masyarakat desa Kemiren telah memiliki kesadaran untuk melestarikan angklung paglak di desanya. Sehingga angklung paglak bukan hanya dimainkan saat-saat panen saja di sawah tetapi juga dibunyikan pada saat-saat kegiatan penting di desanya. Kegiatan adat seperti “Tumpeng Sewu”, adat “Ider Bumi” dan acara-acara adat penting lainnya angklung paglak dimainkan untuk membangun suasana khas masyarakat adat desa Kemiren. Angklung paglak di desa Kemiren telah memberikan identitas pada masyarakat desanya.
            Masyarakat desa adat Kemiren telah menempatkan angklung pada posisi yang tinggi dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Memainkan musik angklung paglak adalah satu bagian ritual penting dalam kegiatan adat di desa Kemiren saat ini. Memainkanya saat  penyambutan tamu, saat upacara adat, bahkan saat hajatan keluarga merupakan penghargaan tertinggi kepada angklung itu sendiri. Hal ini sama seperti yang telah mereka lakukan sejak jaman dulu, yaitu menaruh angklung pada pondok kecil di tengah sawah pada ketinggian tertentu. Ini merupakan symbol status yang diberikan oleh masyarakat desa adat Kemiren pada alat musik bambu ini.
           
ANGKLUNG MUSIK INSTRUMENTALIA
            Angklung paglak di desa Kemiren dimainkan dengan membawakan gendhing-gendhing popular di masyarakatnya. Gendhing-gendhing ini telah lama ada bahkan tidak dapat diketahui siapa penciptanya atau Noname.  Para pemain angklung paglak mewarisi gendhing-gendhing angklung secara turun temurun. 
            Beberapa komposisi ternyata banyak yang dibuat sebagai penggugah semangat mengingat keberadaan angklung paglak sendiri yang berfungsi sebagai pembangun semangat masyarakat yang sedang berkegiatan di sawah. Komposisi nada dan iramanya sangat kental sebagai pembawa suasana rasa senang dan gembira. Dinamikanya sangat kuat pada beberapa bagian gendhingnya. Pukulan nada pada bilah atau tabung bambunya terasa meledak-ledak dan bersusulan dalam nada-nada yang harmonis bersama iringannya.
            Beberapa komposisi yang sering dimainkan angklung paglak di desa Kemiren misalnya gendhing “Lemar-lemir” utawa “Tetho Lelung”. Komposisinya teras menghentak walau dalam melodi yang tersusun diantara tangga nada pentatonik selendro Banyuwangian.  Gendhing ini seolah memberi kesan agar orang lebih cepat dan cekatan lagi dalam bekerja. Meskipun gendhing ini dimainkan tanpa lirik namun dari lompatan nada yang dibuatnya seakan mengajak orang untuk bekerja lebih semangat dan lebih giat lagi.
            Komposisi tanpa lirik yang dibuat oleh angklung paglak memang disesuaikan dengan tujuan utamanya bermusik sebagai musik iringan. Musik Instrumentalia pada angklung paglak selama ini telah akrab pada pendengarnya di desa Kemiren. Komposisi musik-musik pada angklung paglak ini sebenarnya sederhana saja tetapi karena dimainkan dengan teknik pukul yang tinggi serta dinamika yang sangat kuat seolah komposisi musik ini sangat rumit. Ini memang dari ciri gendhing-gendhing tradisi yang biasanya selalu ngerawit (rumit) dalam aturannya.
            Gendhing-gendhing lama seperti  “Gondoriyo”, “Kembang Jeruk”, “Lemar-lemir”, Lebak-lebak” lan “Tetho Lelung”.  Adalah gendhing-gendhing dengan tema-tema kehidupan masyarakt pertanian dan tema-tema semangat membangun kepercayaan diri dan kekuatan dalam bekerja dan berkegiatan di areal pertanian.
            Disamping gendhing-gendhing lama gendhing-gendhing baru seperti “Hoya-hoya”, “Jaran Ucul” lan  “Ojo Cilik Ati” juga biasa dimainkan oleh masyarakat desa adat Kemiren. Namun teknik memainkan angklung paglak Kemiren memang memiliki kekhasan yang tidak sama dengan teknik pukul pemain angklung dari desa-desa adat lainnya di Banyuwangi.
            Memanglah benar jika dinyatakan kalau musik adalah bahasa yang universal. Musik dapat membelah sekat-sekat kebangsaan dan kebahasaan. Tetapi perlulah diingat bahwa musik angklung paglak milik masyarakat Kemiren memiliki identitas yang kuat pada masyarakatnya. Kekuatan pada akar budayanya telah memberikan ciri keindahan tertentu yang unik dan spesifik. Dinamikanya telah mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakatnya sebagai masyarakat yang agraris yang kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan yang keras dalam usahanya di bidang pertanian. Lompatan-lompatan nada dalam komposisi gendingnya merupakan wujud dinamika masyarakat desa yang terus menggeliat mencoba terus untuk maju dalam perkembangan jaman tetapi tetap berpijak pada akar budaya desanya yang kuat.
            Kemampuan beradaptasi ini merupakan nilai sebagai warisan leluhur untuk dapat terus mampu bertahan dalam kehidupan selanjutnya. Sekali lagi musik angklung menunjukannya sebagai salah satu nilai yang terus dibawakannya. Masyarakat memainkan musik angklung dengan komposisi yang diilhami oleh keadaan alam sekitar. Suasana pedesaan serta hiruk pikuk berkegiatan di areal pertanian adalah tema-tema yang berasal  dari lingkungan dimana musik angklung itu berada. Sehingga gendhing-gendhing seperti, “Kembang Jeruk”, “Lebak-lebak”, maupun “Hoya-hoya” merupakan ekspresi dari kegiatan yang ada di sekitar angklung tersebut berada.

PEMUSIK ANGKLUNG YANG KONSISTEN 
            Angklung paglak biasanya dimainkan dengan 2 unit angklung yang terdiri dari 12-15 bilahan bambu. Satu angklung dimaksudkan sebagai pembawa gendhing (pemimpin melodi) sedang satu unit lagi pengiring (timpalannya). Selain angklung untuk memberi kesan iringan ditambahkan 2 kendhang kecil. Kendhang kecil ini dipukul dengan pemukul terbuat dari bambu yang ujungnya diberi karet/atau bahan lunak lain. Kendhang kecil satunya sebagai panthus (pemimpin) dan kendhang satunya sebagai lincangan (pengisi).    
            Pemain angklung paglak desa Kemiren sampai saat ini masih konsisten dengan gaya bermainnya. Walau dibeberapa daerah pemain musik angklung telah mengadopsi permainan musik modern dalam angklungnya. Pemusik angklung paglak Kemiren terkenal seperti Ajir telah memberi dasar yang kuat kepada penerus-penerusnya untuk memainkan angklung paglak secara konsisten seperti pendahulunya. Selanjutnya  Mbah Pathan dan Mbah Mislan meneruskannya dalam komposisi gendhing-gendhing lama yang ajeg dan terjaga resistensinya. Pemain angklung paglak saat ini yang masih memainkan terus adalah Ribut, Asri, lan Rayis. Mereka adalah pewaris angklung paglak yang akan menjaga keberadaan angklung paglak di desanya.
            Regenerasi dari pemusik angklung tentunya sekarang menjadi tantangan demi kelanjutannya di masa depan. Anak-anak para musisi sekarang seharusnya telah mulai mencoba untuk mengaktualisasikan dirinya. Seperti kesenian tradisional lainya, musik angklung memang tidak lepas dari warisan secara turun-temurun dalam generasinya. Nenek kepada anak, dan selanjutnya anak kepada cucu begitu dan seterusnya. Kesadaran akan keberlangsungan adanya musik angklung paglak di desa Kemiren harus terus diusahakan agar segera tercipta keturunan berikutnya yang akan mewariskan angklung ini.
           
KEKAYAAN  BAMBU SEBAGAI POTENSI.
          Bambu sebagai bahan dasar pembuatan musik angklung sampai sekarang keberadaanya di desa Kemiren masih sangat mencukupi. Jenis Bambu benel adalah bambu yang paling sering dipilih untuk membuat angklung di desa Kemiren. Bambu ini mempunyai kelebihan suara yang lebih lembut jika dibandingkan dengan jenis bambu yang lain. Disamping dapat menghasilkan suara yang lebih lembut bambu ini juga lebih tahan terhadap perubahan cuaca, lentur dan tidak mudah pecah.
          Bambu benel sendiri mempunyai beberapa jenis, misalnya jenis bambu benel putih, benel hitam, dan benel tutul. Di desa  Kemiren masihlah tetap memilih bambu benel putih untuk membuat angklungnya. Hal ini dikarenakan bambu benel putih mempunyai ketebalan yang lebih jika dibandingkan dengan benel hitam atau benel tutul.
          Pilihan pada bambu ini bisa disadari, mengingat bambu  benel putih adalah salah satu jenis bambu  yang masih sangat banyak dan berkembang baik di desa Kemiren. Tentu saja tidak semua bambu benel putih dapat dibuat menjadi angklung dengan kualitas baik. Bambu benel ini biasanya harus memiliki umur minimal satu setengah tahun untuk bisa dipotong dan dibuat angklung.  
          Menurut Andi Supandi salah seorang warga desa Kemiren yang biasa membuat angklung paglak membuat angklung harus memilih dan menentukan hari baik. Kepercayaan akan hari baik masih dijadikan dasar untuk tahapan proses pembuatan angklung.
          Dimulai dari memotong bambu untuk angklung harus mencari hari baik. Terlepas dari kepercayaan hitungan hari baik yang jelas memotong bambu untuk membuat musik angklung tidaklah boleh pada hari sembarangan. Seumpamanya memilih hari Sabtu hari yang dipercaya mempunyai naptu (hitungan angka tertinggi dalam hari) yaitu hitungan angka 9. Angka sembilan dipercaya sebagai angka tertinggi dalam hitungan hari.
          Sedangkan pasaran hari dalam hitungan penanggalan Jawa haruslah dipilih pada saat pahing. Pahing dipercaya akan memberi rasa pahit pada bambu sehingga bambu nanti tidak akan disukai oleh binatang-binatang kecil atau serangga ataupun ngengat pemakan bambu. Jelas di sini yang diingini adalah bambu dengan kualitas tertinggi yang dapat menghasilkan suara yang bagus serta ditambah ketahanan bambu dalam menhadapai binatang penggangu seperti serangga dan ngengat perusak bambu.
          Pemilihan hari dan pasaran dalam memotong bambu yang akan dijadikan angklung adalah bentuk kepercayaan yang masih kuat mengakar dalam masyarakat desa adat Kemiren.
Dengan kepercayaan ini setidaknya telah menempatkan angklung bukan hanya sekedar alat musik. Tetapi sebagai satu bagian dari kehidupan budaya masyarakat desa Kemiren. Jika memotong bambunya saja memerlukan hari tertentu apalagi nanti saat proses pembuatannya.
          Disamping menentukan hari saat pemotongan bambunya, juga yang tidak kalah pentingnya adalah bulan-bulan baik saat memotong bambu. Pada saat musim penghujan seperti bula-bulan Agustus sampai Desember disebut bukanlah saat yang tepat untuk memotong bambu. Masyarakat desa Kemiren percaya saat itu bambu sedang menyusui anaknya. Batang-batang bambu saat itu mengandung susu sehingga rasanya manis, jika bambu itu dipotong pada saat menyusui bambu akan sangat disukai binatang, atau serangga perusak bambu. Kalaupun dipaksa untuk dijadikan angklung pastilah angklung tidak akan bisa bertahan lama. Karena akan disukai ngengat atau serangga yang merusak bambu.
          Pada musim-musim penghujan tanaman bambu saatnya mulai bertunas. Menebang atau memotong bambu saat itu akanlah merusak tunas-tunas yang sedang tumbuh. Kiranya kepercayaan ini patutlah diakui jempol sebagai penjaga kelangsungan kehidupan tanaman bambu itu sendiri.
          Kepercayaan rupa-rupanya telah menjadi nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat desa adat Kemiren. Nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupan masyarakat  telah mampu menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di desa tersebut. Nilai-nilai akan kepedulian terhadap lingkungan yang telah tertanam dalam masyarakat ini sepertinya telah memberi  kelangsungan pada kehidupan bambu itu sendiri sebagai tanaman yang penting dalam menjaga sumber air di desa adat Kemiren.
         
MERAWAT BAMBU MERAWAT KEHIDUPAN
                    Lebih lanjut, bagi Andi Supandi  adalah yang sangat penting yaitu mulai memproses bambu menjadi bahan angklung siap pakai. Setelah bambu dipotong selanjutnya tidak semua bambu dapat langsung dijadikan angklung. Bambu harus melalui tahapan pengeringan. Mengeringkan bambu juga tidak bisa langsung dijemur dibawah terik matahari. Karena bambu yang saat masih basah akan langsung mengkerut apabila langsung terkena terik matahari. Bambu harus dijemur dalam posisi berdiri di tempat yang teduh yang tidak langsung terkena sinar matahari.
          Merawat bambu seperti ini sama repotnya dengan merawat bayi, begitu ujar Andi Supandi. Setelah bambu kering secara perlahan dalam posisi berdiri di tempat yang teduh selanjutnya bambu dipotong dalam ruas-ruasnya sesuai keperluan untuk tiap nada dalam angklung. Setiap bambu akan dipotong dalam tiap dua ruasnya . ini dimaksudkan untuk membuat ruang resoanansi dalam setiap nadanya.
          Setelah itu bambu yang terpotong akan disimpan diatas pogo (tempat diatas tungku dapur). Di atas pogo bambu-bambu akan tersimpan selama 3-4 bulan  minimal. Bambu-bambu yang telah tersimpan diatas pogo selama 3-4 bulan minimal inilah yang selanjutnya dapat di buat menjadi angklung. Masyarakat desa Kemiren masih setia dengan proses yang lama untuk pembuatan angklung ini. Sebab tahapan pembuatan angklung ini sudah menjadi  tradisi. Menjaga tradisi di desa Kemiren  adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang masih dipelihara hingga kini.
          Musik angklung seolah mengajarkan akan adanya sebuah perjalanan atau proses yang harus dilalui dalam kehidupan ini. Sesuatu yang harus berjalan bersamaan waktu. Penghargaan terhadap tahapan dan prosedur adalah salah satu sikap yang telah tertanam bagi masyarakat angklung itu sendiri. Mengingat angklung  tidak bisa dibuat secara instan seperti dalam kehidupan modern saat ini. Disadari atau tidak ternyata  proses yang tidak melewati tahapan tertentu  telah  memberikan dampak yang tidak baik dalam kehidupan manusia. Sebut saja misalnya makanan siap saji atau makanan instan yang ternyata tidak baik bagi kesehatan manusia. Sama seperti bambu angklung yang harus melalui perjalanan panjang untuk menghasilkan angklung dengan kualitas baik.       

MELARAS ANGKLUNG  MELARAS KEBEBRBEDAAN
          Jikalau bambu telah siap untuk dilaras menjadi angklung pastilah bambu ini telah memiliki kekeringan yang maksimal tanpa adanya unsur air di dalamnya. Sebab jika bambu masih mempunyai unsur air di dalamnya maka laras angklung tidaklah bisa dapat bertahan lama. Nadanya akan cepat berubah bersamaan dengan susut keringnya. Hal ini tentu saja akan memaberikan pekerjaan lagi karena harus melarasa lagi nantinya pada saat nada berubah seiring susut kering bambu.
          Selanjutnya adalah menentukan ruang resonansi dalam tiap tabungnya. Sebab ruang resonansi akan menentukan merdu tidaknya nada yang dihasilkan dari bilah bambunya. Posisi bambu haruslah dalam posisi terbalik. Bagian ujung berada dibawah sedang bagian pangkal akan berada di atas. Setelah ruang resonansi terbentuk barulah menentukan nada dari tiap bilahnya. Nada pada bilahnya haruslah sesuai dengan nada pada ruang resonansi bambu, sehingga nada biasa bergema dan saling berbenturan secara harmonis dan menghasilkan nada yang bergema merdu. Melaras angklung sangat membutuhkan kejelian telinga pembuatnya. Ini sangat mebutuhkan keahlian dan kepekaan terhadap nada dari pembuatnya.
          Salah satu kekayaan lagi dalam hal laras angklung di Banyuwangi adalah tidak adanya patokan khusus yang harus dianut untuk setiap tinggi rendahnya nada dasar dalam membuat angklung. Setiap kampung atau bahkan setiap empu pembuat angklung mempunyai patokan sendiri dalam menentukan setiap nadanya dalam angklung. Setiap interval dalam tiap nada-nadanya akan ditentukan oleh ketepatan pendengaran dari si pembuat angklung. Untuk itu empu pembuat angklung biasanya telah memiliki master angklung yang akan dijadikan patokannya sendiri.
          Tapi setidaknya patokan berikut di bawah ini akan memberikan gambaran scale nada-nada pada angklung Banyuwangi. Jika diperhatikan dalam patokan berikut nada-nada angklung memiliki perbandingan yang hampir mendekati dengan nada-nada pada gamelan Jawa pada tangga nada selendro Jawa. Berikut ini patokan angklung ynang diukur dari angklung yang ada di pendopo yang saat ini angklung itu telah berada di Taman Mini Indonesia Indah pada Anjungan Jawa Timur.  

Slendro Banyuwangi
Bumbung 1 paling bawah Wilahan 1
a # (446) Hz
Bumbung 2  Wilahan 2
c # (440) Hz
Bumbung 3 Wilahan 3
d # (444) Hz
Bumbung 4 Wilahan 4
f # (450) Hz
Bumbung 5 Wilahan 5
g # (440) Hz

          Sudah jelas dinyatakan di atas jika setiap daerah atau setiap desa memiliki aturan tersendiri dalam tingkatan nadanya. Seumpama seperti diatas adalah scale untuk angklung Banyuwangi yang kini telah berada di Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah ini telah diukur dengan menggunakan scala oleh para ahli.
          Kesepakatan untuk memahami keberbedaan telah diajarkan dalam musik angklung ini. Di sini tak ada satupun kekuatan yang mencoba menekan tiap kelompok. Semua diberikan kebebasan dalam membuat patokan nada dasar angklung mereka.
          Keberbedaan nada dasar di tiap kelompok musik angklung sangat dihargai oleh kelompok musik angklung yang lain. Hal ini masih dipertahankan sampai saat ini. Jika diamati lagi perbedaan angklung-angklung dari desa-desa seperti desa Kemiren, desa Taman Suruh, desa Bolot Aliyan, ataupun desa Benelan, ini jelas lagi berbeda jika dibandingkan dengan nada-nada pada wilahan angklung tersebut di atas. Namun di sini bisa disepakati untuk intervalnya adalah interval Tangga nada pentatonic selendro Banyuwangian dengan lima nada pokok yaitu: 6 – 1 – 2 – 3 – 5. Inilah kekayaan dengan perbedaan yang bisa disepakati oleh para musisi itu sendiri. Keberbedaan ini sangatlah dapat diterima oleh setiap musisi.  
           


PENYANGGA ANGKLUNG MENYANGGA MASA DEPAN
          Angklung yang telah dilaras selanjutnya dibuatkan penyangganya. Berbagai macam penyangga yang ada tergantung dari keperluan angklung itu sendiri. Angklung paglak biasanya menggunakan penyangga sederhana tanpa ukiran karena yang dipentingkan di sini adalah bobotnya. Mengingat angklung paglak harus dibawa di ketinggian yang tentu saja membutuhkan bobot yang lebih ringan agar mudah untuk di bawa dan tidak membebani paglak itu sendiri.
          Angklung paglak biasanya mneggunakan penyangga bambu sederhana ataupun menggunakan kayu ringan yang sederhana. Namun untuk angklung caruk biasanya menggunakan penyangga berukir naga yang indah. Ukiran naga berkepala gatut kaca biasanya akan memberi identitas akan kekhasan angklung Banyuwangi yang berbeda dengan angklung-angklung dari daerah lain di Nusantara.

            Adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri akan keberbedaan yang ada pada masayarakat Banyuwangi. Dari sini kiranya akan memberikan kesadaran akan pentingnya peghargaan akan keberbedaan yang justru akan memberikan kekayaan pada seni tradisi masyarakat Banyuwangi itu sendiri. Angklung dengan tanpa patokan bersama memberi symbol akan kuatnya penghargaan masyarakat Banyuwangi terhadap keahliaan yang dimilki orang lain. Setiap daerah dengan kearifan lokal tertentu akanlah mengangkat indentitas dan jati diri seni tradisi itu sendiri.
            Menjaga keberlangsungan seni tradisi nyatanya membutuhkan penyangga yang kuat yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai luhur yang telah terpelihara dalam kehidupan masyarakat desa selama ini merupakan bukti ketahanan dalam menghadapi gempuran kehidupan budaya modern. Kelestarian nilai-nilai luhur dalam masyarakat di desa ini akan mempertahankan bukan saja seni tradisi tetapi juga kehidupan budaya masyarakat desa itu sendiri.


Minggu, 20 Mei 2018


ANGKLUNG BANYUWANGI,
JAMAN BENGEN SAMPEK SAIKI
Drs. Moh. Syaiful
          Kadhung rika gelem googling ring internet arep nggoleti bab angklung Banyuwangi, rika bakal rodo kepilis. Kadhung sing percaya ketiken ring serchinge: a-n-g-k-l-u-n-g, hang metu mesti bain bab Angklung Jawa Barat, Angklung Udjo, lan Angklung Gamelan Bali. Naming kadhung ketikan rika tambahi ambi Banyuwangi buru hang metu Angklung Banyuwangian hang koyo rika karepaken. Iki nduduhaken kadhung angklung Banyuwangi durung bisa kesuwur koyo dene angklung Jawa Barat lan Angklung Bali. Mula iku wis dadi tekadisun lan rika kabeh hang ngrumangsani duwe angklung iki terus nglestarikaken tabuhan iki makne tetep lestari lan bisa ndadekaken Angklung hang kesuwur kaya dene angklung Jawa Barat lan angklung Bali.

A.           Angklung Nusantara

          Sakdurunge mbahas angklung Banyuwangi enake ngaca nyang anklung Jawa Barat sulung.  Angklung Jawa Barat iki saktemene unine ya sing beda ambi angklung Banyuwangi, mergane ya padha-padha digawe teka bumbung jajang/pring. Hang mbedakaken antarane carane ngunekaken, angklung Jawa Barat dikocak kadhung angklung Banyuwangi dithuthuk ambi tabuh. Kadhung mbedakaken lebih jeru maning ya mesti bain larase. Jaman bengen Angklung Jawa Barat larase slendro lan pelog akehe unine ya mung ana lima merga iku diarani pentatonik (koyo nada-nadane gendhing Sunda). Tahun 1930-an, Daeng Sutigna ambi Pak Djaja ngrubah angklung Sunda didadekaken angklung diatonic (Koyo nada-nadane music barat). Wiwitane ya merga kepingin angklung bisa diajaraken ring pendidikan music ring sekolahe Londo. Mari gediku usahane Pak Daeng diterusakan ambi Mang Udjo. Mang Udjo ngedekaken Saung (pondok/sanggar). Ring pondhoke iki Mang Udjo nggawe angklung lan dodolan angklung. Mari gediku ya ana latihan-latihan sakteruse ya tanggapan-tanggapan sampek keliling dunia. Sak peninggale Mang Udjo usahane diterusaken ambi anak-anake sampek saiki.
          Kadhung ndeleng ceritane angklung Jawa barat mau koyone penulis pribadi ya duwe rasa kepingin bisa ndadekaken angklung Banyuwangi kaya angklung Jawa barat mau ring bab kesuwure. Naming kadhung ngrubah larase teka pentatonic nyang diatonic koyone sak iki wis sing jamane maning. Masiyo tah wis ring jaman saiki wis ana hang nggawe larase angklung hang teka pentatonic selendro dadi diatonic barat. Mestine revolusi-revolusi hang dilakoni Angklung Jawa Barat mau hang perlu dianakaken kanggo terus ngembangaken angklung Banyuwangi iki.
          Sak liyane angklung Jawa Barat mestine hang sing bisa dilalekaken ya angklung Bali. Gamelan bumbung Bali hang kesuwur arane Jegog. Tabuhan iki biasane dienggo nabuhi wong hang njuget pajuan hang kaya ring gandrung Banyuwangi. Kabeh pekakase tabuan digawe teka jajang/pring. Mulai pantuse sampek pekinge sampek gonge kabeh nganggo bumbung. Malah-malah sampek rancakane meh padha ambi rancakan angklung Banyuwangi. Bedane ring gambarane, Ula hang endhase Ontosena iku hang nggarahi sing padha. Jegog iki anane ring sak kelimpekan Kabupaten Jembrana. Kabupaten hang paling parek nyang Banyuwangi. Angel gok diarani sapa hang niru, Bali hang niru Banyuwangi apa Banyuwangi hang niru Bali hang jelas kewela-wela larase wis beda adoh. Kadhung teka larase mestine angklung Banyuwangi meh padha ambi gamelan Jawa yaiku laras Slendro. Angklung Bali utamane Jegog nganggo laras pelog.
          Angklung Bali pancen sigeg anggone njaga tradisine. Angklung iki sampek saiki sing dirubah larase dadi diatonic koyo angklung Jawa Barat naming angklung Bali ya padha kesuwure ambi angklung Jawa Barat ring dunia Internasional lan diakoni dadi musike wong Bali ring dunia.
          Hang rodo parekan maning ambi angklung Banyuwangi ya Calung Sunda. Calung Sunda carane main sing kaya angklung Jawa Barat hang dikocak naming dithuthuk nganggo tabuh kayu ring wilahane. Titi larase pentatonic (da-mi-na-ti-la). Padha ambi angklung liyane calung ya digawe teka bumbung jajang. Kadhang nganggo jajang cemeng kadhang ya jajang putih.
B.            Angklung Keseniane Wong Agraris
          Kadhung nilik antarane angklung lan uripe wong Banyuwangi sedinane pancene angklung sing bisa didohaken ring masyarakate. Dideleng baen sejarahe angklung ring Banyuwangi. Kesenian iki ana hang ngarani kesenian agraris. Keseniane masyarakat hang urip saban dinane ring pertanian. Sing parek kelendi, jajang/pring hang dienggo nggawe angklung meh bisa urip ring sembarang panggonan ring tanah Banyuwangi iki, ring tegalan, ring kebonan, ring perengane jurang, ring pinggire sawah, paran maning ring njero alas. Gampange jajang/pring urip ring tanah Banyuwangi iki ndadekaken masyarakat duwe kreatif dienggo gawe tabuhan. Regane murah lan gawene sing angel, mulo iku angklung mestine wis dadi tabuhan hang mesti wis ana sakat bengen ring tanah Banyuwangi iki.
          Angklung hang nganggo bumbung bisa rungu teka kadohan. Suarane hang bisa nyebar ring antarane gumuk, jurang, lan sawah-sawahan paran maning ditabuh ring dhuwure paglak ndadekaken angklung dadi ciri-wancine keseniane wong tani. Dung ditabuh ambi ngenteni panenan nggawe surasane ati tambah adhem ambi nunggoni parine hang wis arep panen.
C.           Angklung Banyuwangi hang Wis Diakoni     
          Ring tahun 2007 penulis ndilalah bisa milu ring rombongane Angklung  Banyuwangi hang ketiban sampur  teka Jawa Timur makili  nong “Bambu Nusantara World Music Festival” tanggal 18-19 Agustus tahun 2007 ring Jakarta. Iki minangka Festival Musik Bambu hang kawitan dianakaken ring Indonesia. Mergane ana kabar kadhung music bambu Nusantara iki arep diaku negara liya, mulane Pemerintah gancang-gancang propagandha nganakaken Festival music bambu hang tingkate Internasional. Makne Negara-negara liya weruh kadhung Musik Bambu wis ana ring Nusantara iki sakat kuna-makuna bengen.
          Penulis rikala iku ya bisa mlaku rada jejeg lan rodo ndangak. Ring Jakarta Convention Center  Angklung Banyuwangi bisa lungguh bareng ring genjot ambi Arumba Udjo Bandhung, Jegog Bumbung Bali, Serunai dan Saluang Minang, Calung Banyumas, Tarling Jawa Barat, Terompet Papua, lan music bambu liyane teka Nusantara. Saktemene iki nduduhaken anane angklung Banyuwangi ring pentas music Nusantara, paran maning iki event tingkat Internasional. Sithik akeh Angklung Banyuwangi wis diakoni dunia ring event iku. Rombongan Angklung Caruk teka Rogojampi iku nggarap gendhing Giro lan komposisi liyane persis kaya Angklung Caruk hang ana ring Banyuwangi. Penontone sing bisa digambaraken ramene, podho demen lan podho surak. Sampek-sampek Dwiki Darmawan, Indra Lesmana, Gilang Ramadhan, lan Tri Utami ngendhekaken lakune sak perlu nonton Angklung Caruk Banyuwangi. “Saya tidak sangka kalau akan seatraktif ini,” ucape Dwiki Darmawan pentholane group band Krakatau. Rasane bungah atine penulis ulih alem teka Dwiki Darmawan. Rasane Angklung Banyuwangi dijunjung mendhuwur mucit ring dina iku. Sapa hang sing gumun barang asale teka jajang bain naming bisa nggawe ati hangndeleng lan  ngrungokaken kepilu.

D.           Angklung Banyuwangi Gawene Kelendi
          Asale angklung digawe teka jajang/pring. Naming sing angger jajang bisa digawe angklung. Jajang pilihan hang wis di garingaken pirang-pirangane ulan buru bisa nyuara apik lan mbengung. Jajang hang wis umur lebih teka setahun bisa ditegor sakteruse digaringaken naming sing ulih keneng srengenge langsung, rada didemaken ring ngisore panggonan hang rada adem. Karepe jajang makne garing edheng-edheng sing sakkalan garing, bisa-bisa jajang melethek-melethek terus bencah kadhung jajange ketueken. Semono uga kadhung jajange kenomen bisa-bisa kesut utawa alum. Kadhung jajang mau wis garing jajang aju di deleh ring pogo nung nduwure pawon makne garinge soyo nemen keneng panase bengahan ring pawon.
          Jajang/pring paran bain hang keneng dienggo gawe angklung. Ana macem-macem jajang hang keneng dienggo gawe angklung.
1.        Jajang Ori/Pring Ori, Jajang iki rada kuat kadhung digawe angklung. Jajange akeh erine lan ukurane rodo gedhe dibandingaken ambi jajang benel/Pring Benel. Jajang iki rada  atos sithik kerotane naming sing diarepi bubuk (ring bahasa:ngengat), masia kurang pati ulem (ring bahasa :lembut) naming suarane cemengkling cocog kadhung dienggo angklung carukan hang manggone ring lapangan. Utawa dienggo nabuhi tarian. Sak kelempekan wong Rogojampi saiki nganggo jajang iki angklunge. Contone Sanggar Jingga Putih sanggare P. Mitro wis sing gelem maning kadhung angklunge sing nganggo jajang iki. Sanggar-sanggar liyane kayata Aliyan lan Bolot wis nganggo jajang ori iki angklunge.

2.        Jajang benel/Pring Benel,  Jajang iki unine lebih ulem sing pati cemethes koyo jajng ori. Kerotane sing kario atos naming kadhung sing ati-ati wayah ngethok lan nggaringaken bisa-bisa dipangan bubuk utawa nener. Wong kemiren kaya Kang Andik magih dhemen nganggo jajang iki kadhung gawe angklunge. Kadhung Pak Buang teka desa Mangir Rogojampi gawene ana hang jajang ori ana uga hang jajang benel. Jajang ori-ne di deleh ring pethite (ring bahasa:nada tertinggi) kadhung benel-e dienggo ring bem-e (ring bahasa: nada dasar/bagian nada terendah). Padha ambi pak Buang Mbah Jokir Gambiran ya meh padha ambi Pak Buang.

Ana akeh maceme jajang/pring benel, kayata; Jajang cemeng, jajang tutul, lan jajang putih (biasa). Naming ring jaman saiki jajang cemeng lan jajang tutul wis angel goletane. Jajang iki wis akeh hang nggoleti dadine regane larang merga wis arang hang nandur. Kadhung ana ya w is dituku wong Bali dienggo kerajinan lan pekakas umahan. Hang magih akeh ya jajang benel putih (biasa). Naming jare wong-wong hang biasa gawe angklung jajang benel putih (biasa) iki lebih awet dung digawe angklung dibandhingaken jajang tutul lan jajang cemeng merga jajang cemeng lan tutul lebih tipis gampang bencah dung dithuthuk.

E.            Larase Angklung Banyuwangi
          Angklung Banyuwangi akeh-akehe nganggo laras slendro, keneng dienggo conto umpamane angklung paglak hang ana ring Desa Adat Using Kemiren larase Slendro. Angklung ring Pendopo Kabupaten Banyuwangi lan angklung hang ana ring Pelinggihan Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi uga nganggo laras slendro. Semono uga Angklung-angklung caruk hang ana ring wilayah Kabupaten Banyuwangi iki kabeh nganggo laras slendro. Naming ana uga hang nganggo laras pelog. Angklung Thethek teka Banyuwangi kutha akeh-akehe nganggo laras pelog.
          Pancene sing akeh ring jaman saiki wong hang bisa ngelaras angklung. Naming saban desa utawa kampung hang duwe grup kesenian Angklung mesti ana siji utawa loro wong hang bisa ngelaras angklung. Hang penting saktemene jajang hang arep dienggo kudu bener-benr wis garing temenan. Makne ngelarase sing mendho gawe, iku mau jare ucape Mbah Jokir salah sijine seniman angklung thehtek teka Gambiran hang tukang gawe angklung.
          Kadhung jajang hang wis garing temenan mau wis dicepakaken sakteruse jajang dilaras. Unine distel dipadhakaken ambi laras hang dikarepaken. Antarane desa lan desa, kampung lan kampung duwe laras dhewek-dhewek. Durung ana aturan hang jelas hang ngukur laras ring Banyuwangi iki. Kadhung miturut cathetane seniman Banyuwangi hang wis tau ngukur nganggo Cromatik Tuner, angklunge Pemda hang ana ring Pendopo Kabupaten Banyuwangi terus dijejeraken ambi Slendro Jawa aju diukur bareng.. Ring kene bisa katon bedane. Acake tamatena bedane ring ukuran cent-ne;
Slendro Jawa Tengahan:
Barang      =         a # (446)
Gulu         =          c # (442)
Dada        =          d # (442)
Lima         =          f # (450)
Enem        =          g # (440)
Slendro Banyuwangi:
Wilahan 1 = a # (446)
Wilahan 2 = c # (440)
Wilahan 3 = d # (444)
Wilahan 4 = f # (450)
Wilahan 5 = g # (440)
          Teka ring daftar iku katon nemen bedane nong ring wilahan 4 antarane Slendro jawa lan Banyuwangi hang kaceke adoh.  Lima ring slendro Jawa lan Wilahan Papat ring Slendro Banyuwangi kaceke adoh. Mula iku Slendro Banyuwangi katon kerasa rodo miring ring wilahan papate.  Iki hang ndadekaken slendro Banyuwangi rasane seliring ring kupinge wong Jawa.
          Iku mau buru angklunge Pemda ring Pendopo kabupaten. Beda maning ambi angklung-angklung hang ana ring daerah liyane. Umpamane laras Bolot, maksude laras slendro hang bem-e digawe wong Bolot. Laras iki kadhung diukur nganggo piano diatonic saiki kira-kira ± 6 (la) ne padha ambi D# ring piano diatonic. Desa lan kampung liya ya duwe ukuran dewek-dewek naming sampek saiki durung ana penelitian hang ngukur bem-e (ring bahasa: nada dasare) ring angger desa utawa kampung iku mau.
          Hang wis jelas mestine kadhung angklung Banyuwangi nganggo laras Slendro, pentatonic hang nganggo limang nada yaiku: 6 – 1 – 2 – 3 – 5 . Wong kulonan nggampangaken ngarani laras iki mau ambi pentatonic cromatic . Iku gampange ngarani, naming aja dianggep kadhung angklung Banyuwangi padha ambi nada chromatic ring Tangga nada diatonic. Hang jelas wis beda maning.
          Ring daftar dhuwur mau bisa nggambaraken bedane laras slendro angklung Banyuwangi ambi laras slendro jawa. Naming ukurane sing padha ambi laras slendro Jawa (scale) lan interval antarane slendro Jawa lan slendro Banyuwangi sing padha. Sampek ana wadanan ring antarane seniman music Jawa hang ngarani kadhung laras angklung Banyuwangi iku slendro sing slendro pelog sing pelog. Penulis dhewek sing rumongso cilik ati ambi wadanan mau, nurut penulis iku hang diarani Local Genius hang sing diduweni uwong-uwong ring daerah liya. Nyatane gendhing-gendhing Banyuwangian hang larase slendro ya bisa diterima ring daerah-daerah liya ring Nusantara.

F.            Asal Unine Angklung
          Unine angklung asale teko wilahane kang arupo bumbung mau. Bisane muni merga di thuthuk ambi tabuh kang digawe teko kayu santen/utawa waru kang digawe bunder koyo bane montor-montoran. Bedo ambi tabuhan liyane koyo dene Slenthem lan saron, Angklung ditabuh nganggo tangan loro kiwo lan tengen. Mula iku unine “klung,..klung..”. Gampange ngarani ya ang-klung.
          Sing beda ambi angklung-angklung liyane angklung Banyuwangi asal suarane padha bain. Hang bedakaken antarane carane ngunekaken. Kadhung angklung Jawa Barat munine merga dikocak, angklung Banyuwangi munine merga di thuthuk. Angklung iki muni teka wilahan hang kemureb lan bumbung hang ring ngisore. Kadhung gamelan liyane antarane wilahan lan bumbung sing dadi siji, taping angklung beda. Bedane wilahane ambi bumbunge dadi siji. Mula iku nggawene rodo angel sithik dibandingaken gamelan liyane. Bumbung hang arupa jajang /pring iku mau kudu duwe nada hang padha ambi wilahan ndhuwure, makne bisa mbengung utawa mbrengengeng ,( …Istilah kulonane ruang resonansinya terukur sama).

G.           Angklung Bengen sampek Angklung Saiki
          Angklung Banyuwangi kelebu ring jenise tabuhan (ring bahasa music instrument) kang wis ana ring Banyuwangi sakat  jaman Kolonial bengen. Angklung hang digawe teko bumbung jajang iku terus digantung jejer mulai teko suara hang paling dhuwur nyang suara hang paling endep. Hang paling endep ring pinggir kiwa sakteruse urut hang paling dhuwur (pethite) ring pinggir tengen.Angklung bengen akehe wilahane mung sampek 12 bain, serta milu nyang jaman saiki wilahane ditambahi sampek 14-15 wilahan/bumbung. Iki dikarepaken makne bisa dienggo nabuhi gendhing-gendhing hang sampek endep lan sampek dhuwur kaya gendhing-gendhing saiki. Ring jaman bengen larase magih nganggo laras Slendro yoiku : 6-1-2-3-5, taping serta ana gendhing-gendhing pelog akhire wong-wong gawe angklung hang larase  pelog, yoiku : 1-3-4-5-7.
          Keneng dienggo bandhingan kadhung ring gamelan jawa kira-kira angklung iku meh kaya gambang. Merga unine lan kanggone sing beda ambi gambang. Bedane kadhung gambang digawe teka kayu kadhung angklung digawe teka jajang/pring. Masiya tah wis angklung Banyuwangi hang saiki magih padha ambi angklung hang bengen. Wujud asline magih sing dibuang. Kadhung ditamat-tamataken angklung saiki ana bedane ring rancakane (pangkone) bain. Angklung bengen. Angklung bengen ring sakdurunge tahun 1950-an gambarane ulo-uloan nganggo endhas Naga. Hang saiki wis nganggo endhas Gathut kaca/Ontorejo. Gambaran ukirane magih gedhe-gedhe lan durung sampek detail. Hang saiki byek aja takon apike. Iki merga gaman lan pekakas ukir saiki wis canggih lan uwong-uwonge hang ukir wis professional.
          Angklung kang ana ring Banyuwangi macem-macem rupane lan nadane, antarane baen Angklung Paglak, Angklung Caruk, Angklung Dwi Laras, Angklung Derah lan Angklung Pop.

1.             Angklung Paglak
               Nurut keterangane Buku Djawa : Over Muziek in Het Banjowangi Sche hang sun waca ring tulisane Sumitro Hadi “Konsep Diskripsi Kesenian Angklung Caruk” diterangaken ramen-ramene Angklung Paglak ana ring tahun 1926. Tapi sing jelas sakat kapan anane angklung paglak iku wiwitane. Antarane bain ring tahun 1918 teka sumber-sumber hang tahu diwaca penulis.
               Diarani Angklung Paglak mergane ring Jaman bengen angklung ditabuh ring paglak yoiku pondok tengah sawah kang digawe dhuwur kira-kira sampek 10 meter. Sejarahe wong bengen ambi nunggu parine hang wis wayah kuning, rengeng-rengeng ring paglak nabuh angklung sak kancane. Hang karepe ambi ngusir manuk hang mangan parine.  Angklung paglak biasane ana loro, utawa sak set angklung, kang siji kanggo nggawa angklung liyane dinggo nimpali. Sak liyane angklung biasae ana kendang cilik loro kang  ditabuh ambi cuthik jajang kang diblebeti karet pucuke, kendang loro iku hang sijine dinggo pantus hang sijine dinggo nglencangi.

2.             Angklung Bali-balian (Tabuhan Bali)
               Diarani angklung Bali-balian mergane ring angklung iki wis ana tambahan wilahan wesi hang arupa slenthem lan saron. Sing salah kadhung Banyuwangi ya sithik akeh keneng pengaruhe Bali.
               Angklung sak setel kaya dene angklung paglak mau sakteruse ditambahi ambi tabuhan Bali hang nganggo wilahan wesi. Masiyo ulih pengaruh Bali naming wilahan iki mau larase nganggo laras Selendro. Ana maning hang ngomong sakjane teka pengaruh music Jawa merga teka gendhing hang digawa nganggo gendhing Astakara-Dril (Godril) yoiku gendhing hang asale teka Jawa.

3.             Angklung Selisih
               Angklung selisih iki saktemene terusane teka Angklung Bali-balian (Tabuhan Bali). Diarani angklung Selisih merga angklung iki mung ana sak perangkat. Sing rong perangkat kaya angklung caruk hang bisa adu gendhing. Ring jaman bengen Angklung Selisih dienggo ring wong nduwe gawe. Umpamane ana ring kawinan utawa sunatan. Biasane yo mung nggawa gendhing Giro, lan gendhingan hang digawa ring Badhut.
               Gendhing giro diangkataken kadhung ana dayoh gedhe teka umpamane Kamituwo, Lurah , Wedana lan liyan-liyane. Kadhung dayoh mau wis lungguh sakteruse Badhut nembang gendhing Banyuwangian ambi jugetan ring ngarepe dayoh mau.

4.             Angklung Caruk
               Ana maning angklung sakliyane Angklung Paglak lan Angklung Selisih, yoiku Angklung Caruk. Kadung akehe wilahane sing ana bedane ambi angklung paglak antarane 14 – 15 wilahan. Larase yo podho baen laras Slendro, bedane yo mung rancakane. Rancake Angklung Caruk nganggo panggonan lungguh kang dadi siji ambi rancake . Angklung caruk nganggo gambaran ulo-uloan ring dhuwure angklung nambahi angklung iki apik lan sagah. Sakjrone main Angklung Caruk biasane ditambahi ambi Kendhang, kethuk, gong, slenthem, saron, lan kluncing. Jangkepe antarane gediki:
    Panjake Angklung Caruk ana 12-15 wong iku mau hang nyekel tabuhan siji-siji, jelase gediki: angklung sak stel ( ring bahasa: dua unit angklung ) hang nabuh wong 2, slenthem 2 ancak hang nabuh wong 2, saron 4, peking 2 ancak, kendang 2 ( 1 lanangan lan 1 wadonan) hang nabuh wong 1, kethuk 2 hang nabuh wong 1,kluncing 1 , gong 1 lan  kempul 1 hang nabuh wong 1,  lan badut 1. Ring jaman bengen bahola lan sinden magih durung ana.  Naming angklung caruk saiki ditambahi ambi sinden siji lan bahola siji.
               Diarani Angklung Caruk mergane sakjroning pentas ana rong perangkat grup Angklung diedu pinter-pinteran nebak gending lan nggowo gending sampek mari. Penonton kang dadi jurine, kadhung tebakane bener penonton surak lan juget bareng ambi badute. Badut iku wong kang dipercoyo mimpin lan ngatur anggone  giliran adu gending lan kudu  pinter njuget. Angklung Caruk kang terkenal sampek saiki antarane Angklung Caruk Alasmalang, Angklung Caruk Bolot, Angklung Caruk Pasinan, Angklung Caruk Sumberwangi lan Angklung Caruk Canthuk. Naming nurut cathetane Dinas Pendidikan Banyuwangi ring tahun 1996 magih ana 21 grup Angklung Caruk hang semebyar ana ring Banyuwangi iki.

5.             Angklung Thethek
               Angklung Thethek biasae dinggo tabuhan patrol njaga keamanan keliling desa. Mulane  iku angklung iki rancakane digawe cilik makne entheng anggone digowo mlaku-mlaku keliling desa. Angklung Thethek wilahane antarane 2 sampek 5 paling akeh. Angklung Thethek dimainaken bareng ambi tabuhan bumbung. Gong, kethuk, lan sulinge kabeh digawe teko bumbung jajang.
6.             Angklung Dwi Laras
               Angklung iki duwe roang laras ring sak ancake. Ringa nacakan dhuwur nganggo laras Slendro ring balike nganggo laras pelog. Angklung Dwi Laras digawe bengen dienggo propagandane partai-partai politik. Kadhung PKI duwe Angklung Genjer-genjer, PNI liwat LKN-ne gawe angklung Dwi Laras.
7.             Angklung Daerah
               Angklung iki anane mulai tahun 1970-an Joko supaat Slamet ring wektu iku kepingin kesenian Banyuwangi utamane angklung bisa rame maning. Sakteruse angklung hang wis ana ditambahi ambi tabuhane gandrung: bahola, kethuk, lan kluncing. Wujud angklung iki hang saiki bisa terus ana ring Banyuwangi. Keneng dienggo Giro-giroan lan gendhingan ring acara seremonial Kabupaten.
8.             Angklung Pop
               Angklung Pop wiwitane dikenalaken ambi grup POB (Patrol Orkestra Banyuwangi). Bedane Angklung iki ambi angklung-angklung liyane teko larase. Angklung Pop digawe laras Slendro kang di tune ambi Nada Diatonis Barat utowo ditune ambi Piano. Koyo hang wis dilakoni Pak Daeng Sutigna lan Mang Udjo ring angklung Jawa Barat. Dadine angklung iki bisa dinggo main nada-nada diatonic koyo gending-gending kendhang kempul lan gending-gending Banyuwangi saiki.

H.           Nguri-uri Angklung Banyuwangi
          Kadhung rika takon sapa hang duwe kewajiban nguri-uri anklung Banyuwangi mestine jawabe ya pitakonan maning. Sapa sulung hang ngrumangsani duwe angklung Banyuwangi. Kadhung wangsulane hang rumangsa duwe masyarakat Banyuwangi ya mesti bain hang duwe kewajiban ya masyarakat Banyuwangi mau.
          Hang aran masyarakat mestine ya sak kabehe golongan hang ana ring Banyuwangi. Hang nomer siji mestine seniman lan budayawan iku dhewek, terus ahli lan pakar ring dunia akademisi, golongan pendidik ring sekolah lan sanggar-sanggar seni, lan aja dilali Pemerintah hang duwe kuasa ring Banyuwangi iki.
          Seniman lan budayawan kudune duwe sifat kang ajeg lan sigeg anggone terus nggarap lan ngembangaken angklung Banyuwangi makne masyarakat tambah dhemen nyang angklung. Kreatifitase kudune sing mandheg. Garapan-garapan hang anyar dienggo mangsuli tantangan jaman kudu terus digawe. Genddhing-gendhing lawas digarap maning makne lare-lare ring jaman saiki uga bisa ngarasaken enake tabuhan angklung.
          Cawe-cawene ahli lan pakar teka dunia akdemisi sing keneng dianggep entheng mergane penemu-penemu anyar hang dilakoni teka penelitiane bisa njawab masalah-masalah hang ana ring angklung Banyuwangi, hang bisa bain kadhangane sing kepikir ambi seniman lan budayawan iku dhewek.
          Pendidik ring sekolah lan sanggar-sanggar seni nyata-nyata bisa ngenalaken angklung nyang generasi penerus. Lare-lare hang ana ring sekolah lan sanggar-sanggar seni kudune diajari angklung sakat cilik, makne kupinge belajar nyang gendhing-gendhing angklung. Sakteruse kadhung wis ngerteni nyang gendhing terus belajar nabuh. Guru-gurune dilatih lan diajari liwat diklat lan seminar-seminar makne duwe keahlian dienggo ngajari angklung nyang murid-muride. Dung wis gediku engko sithik akeh bisa dienggo ngandelaken rasa seni nyang tabuhan angklung.
          Kadhung Pemerintah mestine sing kario abot kadhung pancen temenan duwe tekad nguri-uri angklung iki. Mergane Pemerintah duwe kuasa gawe aturan lan duwe dana hang cukup teka APBD lan APBN. Pemerintah bisa gawe event-event hang bisa njunjung angklung ring panggonan hang sak mestine. Umpamane nguweni bantuan dana nyang grup-grup angklung hang wis meh mati. Nganakaken festival-festival angklung ring saban-saban tahun. Uga bisa ngundang angklung kanggo ngurmati dayoh-dayoh utawa pejabat-pejabat teka pusat hang teka nyang Banyuwangi.
          Sakliyane wong-wong ring ndhuwur mau ana maning hang uga bisa nggawe tambah ramene angklung ring Banyuwangi. Wong iku mestine ya pengusaha hang duwe Produksi rekaman CD ring Banyuwangi. Kabeh uwong mestine ya ngerti kadhung pengusaha mestine ya golet bathi hang akeh. Cd-cd garapan tradisi pancene  ya sing bisa payu anter kaya orkes-orkes dhangdut utawa koploan hang pas dina iki ramen-ramene. Pira sih bathine kadhung mroduksi angklung dibandingaken ambi dangdut koplo, bisa-bisa bathi ora torog malak’an iya. Tapi ya masa gediku, sak umpama mari bathi akeh terus syukurane lan slametane mau dienggo mroduksi angklung kira-kira ya moso rugia, 7 CD dangdut koplo terus 1 bain CD angklung rasane apik, enget-enget dienggo nguri-uri nyang kesenian ring tanah Banyuwangi hang wis mari nguweni bathi. Gedigu kira-kira kadhung ulih dijaluk.
          Kadhung angklung diibarataken kembang menur arum wangi gandane semebrung ana ring petamanan gawe demen nyang hang nyawang aja dilali dijaga lan disiram. Paran maning ana hang methik terus diencepaken ring rambute perawan, masiyo katon apik disawang naming dudu iku papan panggonane kembang.  Engko bisa garing lan gandane ilang. Kira-kira hang dikarepaken kiasan iku ya aja sampek angklung manggon ana ring museum naming ilang ring masyarakate. Masiyo katon apik disawang, naming ya sapa gelem dung  kari mung ceritan.
Rogojampi 06 Februari 2014

Minggu, 02 April 2017

“GANDRUNG SEWU PODHO NONTON”
LABUH BENKTINE RAKYAT BANYUWANGI

            Festival Gandrung Sewu hang wis kaping papat tahun iki dianakaken ring Pesisir Boom Banyuwangi, tanggal 26 September 2015. Nurut jadwal kudune wis diangkati sakat jam 14.00, Naming buru bisa kelaksan jam 14.30.  Serta Bupati Banyuwangi lan dayoh kurmatan lungguh ring kursine pergelaran aju diangkati. Ring pidatone Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas ngomong dhung Gandrung Sewu iku dianakaken kanggo “konsolidasi Budaya”. Kang dikarepaken Pak Anas yaiku ngukuhi penari hang ana ring desa-desa lan kabeh wilayah Banyuwangi bisa njuget bareng nung panggung kurmatan kabupaten. Penari Gandrung hang biasane njuget mung nung desa lan kampunge dhewek ring kene diweni papan pentas ring acara Be-Fest hang bisa ditonton sing mung wong desa lan kampunge dhewek naming bisa ditonton wong sak tlatah Nusantara. Paran maning event iki wis dadi event nasional hang dienteni sing mung wong Nusantara naming uga dienteni wong-wong ring negara manca, merga Gandrung Sewu iki wis dadi salah sijine agul-agule Banyuwangi ring Be-Fest (Banyuwangi Festival)
            Sakat mlebu jam 12.00 penonton wis ngebeki pesisir Boo. Paran maning  wong-wong hang kedanan nyang fotografi. Sing sithik hang daftar lan njaluk ID Card kanggone para juru potrek iki makne bisa manggon ana ring panggonan hang tepak anggone bisa motrek Gandrung Sewu makne dadi lan apike asile potrekane gediku karepe. Angger Stasiun TV Nasional meh ngirim wartawane. Ana uga Discovery Chanel hang arep nggarap Wonderful Indonesia.
            Sing beda adoh teka Gandrung Sewu ring tahun-tahun hang sulung, mesti bain hang dijugetaken ya jugetan gandrung. Naming tahun iki Gandrung Sewu lakone “Podho Nonton”. Koreografi lan tata gendhing uga skenarione digarap lansung ring seniman Banyuwangi hang aran Sumitro Hadi. Lakon iki diamet sumber idene teka gendhing “Podho Nonton”. Podho Nonton kawitane  pancen aran gendhing hang wis kesuwur ring pergelaran gandrung Banyuwangi. Podho Nonton  iki nggambaraken kedadean rikala jaman semono ring antarane tahun 1771 sampek 1772 . Ring jaman iki para dulur Banyuwangi berjuang ngelawan kumpeni Londo. Ring kono akeh para pejuang hang dihukum lan dipateni Londo. Ana uga hang ditugel endhase aju ditancepaken nung pager-pager pinggir dalan. Hang dihukum digawa nyang segoro aju disilepaken sing kalah ngenese. Sikile dipuket dibandhuli watu gedhe. Sing sithik wong Belamabangan hang mati rikala iku.
            Pergelaran dikawiti ambi Lalare Orkestra hang nggawa gendhing “Pesisir Boom” lan “Gandrung Sewu”. Ring genjot pinggir wetan hang digambari segoro Selat Bali lan  gunung-gunung hang ana ring pulo Bali pergelaran nambahi katon berahi. Mari iku penari cilik hang akehe 63 lare metu pelayonan ambi nggawa umbul-umbul lirang hang nguweni pertondo girange lare-lare ring jaman iku merga urip nung bumi Belambangan bisa nyenengaken. Tanahe subur, rakyate makmur merga sembarang bisa urip ditandur.. Ring kono digambaraken uga wong tani hang urip seneng lan mituhu nyang adate uga mesti ucap syukur nyang Pengerane kelawan nganakaken sedekah desa hang diarani kebo-keboan.
            “Mbok Gandrung isun percaya nyang rika, jugetane apik, paesane melik-melik, gancang ngelaiko “Podho Nonton”, jare ucape dalang diterusaken ambi gemeruduke Gandrung  nyang panggon pergelaran ring dhuwure pasir boom hang magih kerasa panas masiyo sak durunge wis disiram ambi panitia. Naming panase pasir nung Pesisir Boom sing ngurangi niayate penari hang kepingin pergelarane iku sukses.  Mari gediku penari gandrung hang akehe sewu iku mau metuka teka bucu pat arena panggung Pantai Boom, Bucu kidul kulon, bucu kidul wetan, bucu lor wetan lan bucu lor kulon. Gandrung hang akeh iku mau metu ambi jugetan “Ngiwir” jugetan hang nggambaraken “Dewi Sri” Dewi Kesuburan hang mudhun teka kayangan. Jugetane carem ring antarane kabeh penari. Suarane sampek koyo udan gedhe hang buru temetes teka langit. Tabuhane ngungkung kendhangane seru tegese. “ “Yee,…iki salam penghormatan nyang para dayoh njaluk pendongane mugo-mugo gandrung sewu iki lancar lan sukses koyo pergelaran hang sakdurunge,…lempar sampur berangkaaat,” jare kudangane panjak keluncing. Sakteruse gandrung nerusaken jugetane maning. Sing leren-leren penonton anggone keplok merga kaju nyang jugetane gandrung.        Tahun iki pancenen rada beda Gandrung iki nganggo sampur kelir ijo lan nggowo kepet (kipas) kelir abang putih. Kelir iki pancen dienggo gambaraken kesuburane Banyuwangi rikala jaman semana. Sampek-sampek kesuburan iku mau nggawe Bangsa teka Manca padha kepingin teka nyang Blambangan nggo nguasani tanah Blambangan.
            Mari penghormatan diterusaken ambi gendhing “Podho Nonton” mung sak ceklek dijuput ndhuwure  sakteruse gandrung minggir. Kumpeni Londo teka segoro wetan nunggang perahu gedhe. Mari mudhun aju ngerusak tatanan wong-wong Belambangan. Kabeh dirusak sembarang diamet. Ring panggung pinggir lor wetan hang dienggoni para tani lan uwong-uwong hang mengan gedhogan uga mengan angklung nung paglak dirusak. Iku kabeh ndadekaken para tani ngamuk lan wani ngelawan Kumpeni Londo. Naming kekuatane para tani lan Kumpanei Londo mesti bain sing imbang, akeh para tani lan rakyat hang mati ana uga hang mlayu nyang tengah alas. Ring kono gandrung aju mlebu maning nutup nyang dalan hang wis diliwati para tani hang mlebu nyang alas.
            Sing suwe pira teka bucu elor kulon, Marsan macak gandrung lanang mlaku-mlaku nyang desa-desa lan alas-alas panggonane para tani lan rakyat hang keplayu mau. Ring kono Marsan sak perlu mbalekaken keuatane rakyat balik maning duwe ati kanggo ngusir Kumpeni Londo. Wis akeh para tani, rakyat lan pejuang hang wis dikumpulaken maning nung Marsan. Serta kekuatan wis balik maning Rempek Jagapati hang dadi agu-lagule. Saiki kabeh para tani, rakyat, lan pejuang dikumpulaken nung Bayu sakperlu ngelawan bareng ambi Kumpeni londo.
            Londo soyo suwe soyo nggerangsang, tambah beringas kepingin nguras bumi Blambangan. Rempek jagapati sing terima ndeleng rakyate urip soro. Rempek berjuang ngelawan Kumpeni Londo. Wis akeh kurbane ning para Londo mulo iku Kumpeni Londo hang duwe watek “devide et impera”. Rumongso sing bisa ngalahaken Rempek Jagapati, Kumpeni Londo nggawa Tumenggung Alap-alap hang arep diedu musuh Rempek. Dadi adu kesakten wong loro akhire. Alap-alap hang dipercoyo Londo  nggo ngalahaken Rempek nyatane sing bisa ngalahakaen rempek. Sak lorone tarung ring Bayu. Alap-alap mati keneng tumbake Rempek. Sedheng Rempek dhewek ketaton keneng gamane Alap-alap hang diweni opas lan racun.
            Rempek Jagapati aju ditandhu lan dibungkus lawon putih. Para gandrung aju ninggul ambi ngetutaken teka mburine. Ambi gendhing pelog Rempek ditandhu mlebu nyang bucu kidul wetan. Sakteruse digambaraken perahu gedhe hang nguwot para tawanan perang bayu. Penari gandrung nganggo kepet biru nggambaraken laut lan ombake segoro Sembulungan. Ring tengahe panggung kapal aju mandheg, ring kono katon Kumpeni Londo nguncalaken para tawanan perang Bayu nyang tengah segoro. Para gandrung aju njerit nyakseni iku kabeh. Merga iku kabeh dadi buktine “Labuh bektine rakyat Banyuwangi” nung Bumi Blambangan. Pergelaran mari naming penonton magih katut nyang akhir-akhire cerita iku mau. Serta Pembawa acarane nutup acara ambi keplok tangan, buru penonton keroso dhung pergelarane wis mari.
            Lancar lan suksese Festival Gandrung Sewu iki uga sing kalah gedhe tulunge para seniman lan pelatih tari hang dadi sawiji ring Patih Senawangi Banyuwangi. Lan sing sithik usahane para Pelajar SMP sampek SMA hang wis dadi penari. Uga panitia Kabupaten hang sing leren-leren anggone ubed nggo nyuksesaken Festival Gandrung Sewu tahun iki. Sing luput dhung gawe tahun iki pancene wis diatur nong ring Pemerintah Banyuwangi hang dipercayakaken nung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Muga tahun ngarep magih ana Festival hang koyo gediki, jare ucape  penonton hang wis kesengsem nyang Festival Gandrung Sewu iki. (Repotane: Moh. Syaiful)




Rabu, 25 Mei 2016

Ksatriya Gung Belambangan
                Pangeran  Wilis  ksatriya gung Belambangan iki duwe aran jejuluk Mas Sirna. “Wilis,…” gediku bain iyane dhemen diceluk. Kadhung nganggo aran jejuluk mesti bain bisa mbidakaken antarane rakyat lan turune raja. Pangran Wilis sing kepingin dibidakaken ambi sapodho-podho paran maning ambi  rakyate. Iyane  sing dhemen nganggo aran jejuluk keraton. Mestine gediku, dung anggon urip nong njero keraton. Merga iyane  anak teka  Pangeran Danurejo ambi ibu Putri teka Kerajaan Mengwi.
                Sing koyo dene anak turune Prabu Tawangalun liyane mrana-mrene nganggo aran jejuluk Mas utawane Mas Ayu. Aran Wilis dhewek asale bengen teka emake hang turunan Bali. Sing patio ngarti paran karepe aran iku. Hang mesti hang nguweni aran duwe kekarepan hang apik lan dhuwur kanggone anake iku mau.
                Sakat cilik, Wilis dhemen urip ambi rakyate. Uri lan srawungan ring njaban, kumpul anake wong tani ring sawah lan kebonan. Memengan ring alas-alasan  lan panggonan-panggonan sunut ugo adat  liyane. Rodo gedhe sithik Pangeran iki dhemen urip nyepi, topo lan nglakoni  nong panggonan hang sing diambah menungso. “Golet paran endane,” takon isun nyang awakisun dhewek serto rungu ceritane uwong-uwong.  Jare wong-wong kene Wilis golek ilmu lan kaweruh  nggo sangu urip ring dino mburi . Iku  kosok baline ambi isun iki. Sak umuran isun iki magih  durung weruh rasane manggon nong panggonan hang sepi paran maning panggonan hang durung diambah menungso. “Hiii,…sing wani isun.”
                Kacang mestine sing bakal ninggalaken lanjaran. Prabu Tawang Alun sembah buyute Pangeran Willis bengen gediku. Dhemen urip madep nyang hang kuasa ring panggonan hang sepi lan sing tau diambah menungso. Mestine hang gediku iku anggone  bisa tanek lan jejeg madep nyang hang kuasa  merga sing ana hang nyerintungi.  Mupakat bain serto saiki , Pangeran Wilis bisa dadi wong hang kajen ring sak tlatah bumi Belambangan.  Didhemeni rakyat  mergo andap asor ring lakune. Diwedeni musuh mergo kesaktenane.