ANGKLUNG
PAGLAK
DAN
NILAI-NILAI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA
Moh.
Syaiful
ASAL
MULA ANGKLUNG
Angklung
adalah alat musik bambu dengan bilahan atau tepatnya tabung bambu yang tersusun
dari nada terendah hingga nada tertinggi. Nada-nadanya tersusun dalam tangga
nada selendro Banyuwangian. Sengaja menyebut dengan tangga nada selendro Banyuwangian,
hal ini untuk membedakan dengan tangga nada Selendro Jawa Tengahan. Angklung Banyuwangi
biasanya tersusun dalam tiga oktaf tangga nada pentatonis selendro Banyuwangian
dengan 15 nada. Nada rendahnya berada pada bagian sebelah kiri penabuhnya selanjutnya tersusun berurutan sampai nada tertingginya berada
disebelah kanan.
Angklung
sendiri adalah alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Banyuwangi. Menurut
keterangan Buku Djawa : Over Muziek in Het Banjowangi Sche dalam tulisan Sumitro
Hadi “Konsep Diskripsi Kesenian Angklung Caruk” dijelaskan Angklung Paglak mulai menggeliat lagi di tahun 1926. Berarti hal ini kurang lebih bersamaan
dengan pengembangan Angklung di Jawa Barat yang dipelopori oleh Daeng Sutigna di
tahun 1930, ketika Daeng Sutigna dan Pak Djadja yang merubah angklung dalam
nada pentatonik Sunda menjadi nada Diatonis Barat. Tetapi menurut beberapa
sumber Angklung Banyuwangi sudah ada sejak tahun 1918.
Terlepas
dari kapan tepatnya keberadaan angklung di Banyuwangi, yang perlu digaris
bawahi kiranya adalah resistensi angklung Banyuwangi yang kuat bertahan pada
tardisinya dari pengaruh kesenian lainnya utamanya adalah seni musik barat.
Angklung Banyuwangi sampai saat ini masih tetap tak bergeming dari pengaruh
musik barat seperti yang dialami oleh angklung Jawa Barat yang telah merubah
tangga nadanya dari pentatonik Sunda yang sangat spesifik menjadi diatonik
barat yang universal.
Tangga
nada selendro Banyuwangian pada musik angklung Banyuwangi telah memiliki
identitas tersendiri dalam kancah berkesenian tradisional di Nusantara ini. Tangga
nadanya yang unik ini memberikan kesan yang romantic-melodius mampu
membawa pendengarnya dalam suasana kehidupan naturalis yang romantis. Tidak
salah jika beberapa ahli musik barat yang pernah mendengarkan nada-nada pada musik
angklung menyatakan bahwa, ini adalah musik surga. Beberapa ahli musik gamelan
jawa mengatakan, nada-nada pada musik angklung Banyuwangi mempunyai interval
yang khas yang sangat berbeda dengan tangga nada musik gamelan Jawa. Hal ini
merupakan kekayaan musik Nusantara yang harus tetap dijaga dan dilestarikan
keberadaanya sebagai khasanah musik tradisi yang ada di Nusantara.
Satu
ajaran tentang nilai-nilai kehidupan telah diberikan oleh musik angklung.
Nilai-nilai ketahanan dalam menjaga tradisi leluhur terus dipegang teguh agar
tidak mudah terpengaruh budaya luar. Kekuatan untuk menjaga dan melestarikan tangga
nada slendro Banyuwangian di tengah gempuran tangga nada diatonik yang makin
popular pada masyarakat saat ini adalah bukti sebuah ajaran yang secara
simbolis ditunjukan oleh musik angklung Banyuwangi. Sikap menghargai warisan
leluhur kemudian diperkuat dengan nilai-nilai pelestarian warisan leluhur merupakan
salah satu dari nilai-nilai karakter budaya masyarakat yang ada di Banyuwangi
yang harus terus dijaga untuk kelangsungan budaya bangsa ini.
ANGKLUNG
PAGLAK PADA PUNCAK
Sudah
tidak banyak lagi saat ini desa-desa di Banyuwangi yang masih mempertahankan
angklung di pondok-pondok kecilnya. Di jaman dulu angklung dibunyikan di
pondok-pondok kecil tengah sawah sambil menunggu musim panen datang. Angklung ini mengiringi kehidupan para petani
di desa pada saat-saat penting dalam kegiatan pertanian. Musim panen tentu
adalah salah satu kegiatan penting dalam kehidupan para petani. Di saat itu
musik angklung di bunyikan dari atas pondok tengah sawah hingga terdengar ke
seluruh desa.
Angklung
yang di bunyikan dari atas pondok kecil tengah sawah ini kemudian di kenal
dengan angklung paglak. Paglak sendiri
dalam kamus Using-Indonesia berarti pondok kecil tengah sawah yang lantainya di
buat di ketinggian. Ketinggian paglak akan mempengaruhi jauh tidaknya suara
angklung merambat. Dari ketinggian akan
lebih sedikit penghalang yang akan menahan dan mengedapkan suara angklung. Maka
dari itu tidak heran jika suara angklung akan terdengar sampai ke luar wilayah
desa-desa yang lain.
Biasanya
paglak ini dibuat diantara lima sampai sepuluh meter dari tanah. Penabuhnya
akan memanjat dengan tangga atau dalam istilah Banyuwanginya ondho lanang.
Ondho lanang adalah tangga terbuat dari bambu yang hanya memiliki satu tonggak bambu
kemudia diberi titian di setiap ruasnya. Adalah sebuah kebanggaan tersendiri
saat itu bila bisa membunyikan angklung dari paglak yang tinggi. Setidaknya
kabar dari wilayah pertanian miliknya akan dapat di dengar dari wilayah desa
lain. Misalnya saat nggetaki (saat mengusir burung ketika padi sudah mulai
menguning) atau saat panen.
Bunyi
dari angklung paglak dari ketinggian pondok tengah sawah adalah isyarat pemberi
kabar kepada masyarakat di sekitarnya. Bila suara angklung telah dibunyikan
dengan gendhing (lagu) tertentu memberi pertanda saatnya harus berkumpul untuk
bergotong royong di sawah. Kehidupan gotong royong yang telah terbangun sejak
lama di desa-desa Banyuwangi umumnya telah memberi kesadaran yang tinggi pada
masyarakat untuk datang memenuhi panggilan suara angklung. Selanjutnya
masyarakat akan datang berbondong-bondong bergotong royong saling membantu pekerjaan di
sawah.
Di
atas pondok kecil tengah sawah tersebut telah disediakan satu set angklung
bambu yang terdiri dari dua unit angklung. Dua orang akan memainkan angklung
tersebut dimana satu orang sebagai pembawa gendhing ( membawa melodi utama) dan
yang satunya akan nimpali ( memberi iringan ). Keduanya akan memainkan beberapa
gendhing tanpa vokal (musik intrumentalia). Gendhing yang dipilih sesuai dengan
keinginan pemain tanpa harus memperhatikan apa yang diingini oleh pendengar
yang ada di bawahnya.
Dari
hal ini bisa digambarkan betapa musik angklung sebagai sarana penyampai
informasi komunal yang mampu mengikat masyarakatnya dalam sebuah tatanan yang
terbangun dalam masyarakatnya sejak dulu. Musik angklung yang menggema dari
sebuah tempat di sawah milik masyarakat akan memberi kesadaran kepada
masyarakat yang lain untuk berkumpul dan peduli akan kepentingan orang lain.
Di
saat panen misalnya, musik angklung akan dibunyikan dengan bergemuruh
mengiringi kegiatan panen di sawah. Gendhing-gendhing yang dibawakan seolah
mensugesti orang-orang yang mendengarnya untuk terus berkegiatan tanpa mengenal
lelah. Banyuwangi sebagai salah satu wilayah dengan potensi pertanian yang
besar sangat memerlukan semangat dan tenaga yang besar untuk mengolah
pertaniannya. Musik angklung dalam
masyarakat agraris telah menjadi bagian terpenting dalam membangun motivasi
berkegiatan. Musik ini akan memberi
dorongan yang kuat pada jiwa pendengarnya untuk berkegiatan tanpa mengenal
lelah untuk mencapai hasil yang maksimal.
Dari
sini pula dapat dipetik satu ajaran tentang nilai-nilai kebersamaan dan
kepedulian terhadap sesama. Dimana nilai-nilai tersebut sekarang ini telah
mulai pudar tergerus oleh kuatnya arus kehidupan masyarakat modern sekarang. Di
sini angklung telah menjadi bagian penting dalam penanaman sikap-sikap
tersebut. Nada-nada yang dibunyikannya telah mampu menggerakkan orang-orang
secara sadar untuk berkumpul di suatu tempat. Sekedar mendengar musik angklung
yang dibunyikan dari pondok kecil di tengah sawah atau dapat membantu yang
empunya sawah adalah sikap peduli yang
selama ini masih terpelihara dalam masyarakat desa di Banyuwangi.
ANGKLUNG
PAGLAK KEMIREN
Pada
jaman dahulu di desa adat Kemiren angklung paglak dibunyikan pada saat panen
tiba. Paglak yang dibuat di tengah sawah dengan ketinggian sampai sepuluh meter
dari tanah ini dimaksdukan untuk menghibur orang-orang yang bekerja di sawah
saat panen tiba.
Dalam
perkembangan lebih lanjut masyarakat desa Kemiren telah memiliki kesadaran
untuk melestarikan angklung paglak di desanya. Sehingga angklung paglak bukan
hanya dimainkan saat-saat panen saja di sawah tetapi juga dibunyikan pada
saat-saat kegiatan penting di desanya. Kegiatan adat seperti “Tumpeng Sewu”, adat
“Ider Bumi” dan acara-acara adat penting lainnya angklung paglak dimainkan
untuk membangun suasana khas masyarakat adat desa Kemiren. Angklung paglak di
desa Kemiren telah memberikan identitas pada masyarakat desanya.
Masyarakat
desa adat Kemiren telah menempatkan angklung pada posisi yang tinggi dalam
tatanan kehidupan masyarakatnya. Memainkan musik angklung paglak adalah satu
bagian ritual penting dalam kegiatan adat di desa Kemiren saat ini. Memainkanya
saat penyambutan tamu, saat upacara adat,
bahkan saat hajatan keluarga merupakan penghargaan tertinggi kepada angklung
itu sendiri. Hal ini sama seperti yang telah mereka lakukan sejak jaman dulu,
yaitu menaruh angklung pada pondok kecil di tengah sawah pada ketinggian
tertentu. Ini merupakan symbol status yang diberikan oleh masyarakat desa adat Kemiren
pada alat musik bambu ini.
ANGKLUNG
MUSIK INSTRUMENTALIA
Angklung
paglak di desa Kemiren dimainkan dengan membawakan gendhing-gendhing popular di
masyarakatnya. Gendhing-gendhing ini telah lama ada bahkan tidak dapat
diketahui siapa penciptanya atau Noname.
Para pemain angklung paglak mewarisi gendhing-gendhing angklung secara
turun temurun.
Beberapa
komposisi ternyata banyak yang dibuat sebagai penggugah semangat mengingat
keberadaan angklung paglak sendiri yang berfungsi sebagai pembangun semangat
masyarakat yang sedang berkegiatan di sawah. Komposisi nada dan iramanya sangat
kental sebagai pembawa suasana rasa senang dan gembira. Dinamikanya sangat kuat
pada beberapa bagian gendhingnya. Pukulan nada pada bilah atau tabung bambunya
terasa meledak-ledak dan bersusulan dalam nada-nada yang harmonis bersama
iringannya.
Beberapa
komposisi yang sering dimainkan angklung paglak di desa Kemiren misalnya gendhing
“Lemar-lemir” utawa “Tetho Lelung”. Komposisinya teras menghentak walau dalam
melodi yang tersusun diantara tangga nada pentatonik selendro Banyuwangian. Gendhing ini seolah memberi kesan agar orang
lebih cepat dan cekatan lagi dalam bekerja. Meskipun gendhing ini dimainkan
tanpa lirik namun dari lompatan nada yang dibuatnya seakan mengajak orang untuk
bekerja lebih semangat dan lebih giat lagi.
Komposisi
tanpa lirik yang dibuat oleh angklung paglak memang disesuaikan dengan tujuan
utamanya bermusik sebagai musik iringan. Musik Instrumentalia pada angklung
paglak selama ini telah akrab pada pendengarnya di desa Kemiren. Komposisi musik-musik
pada angklung paglak ini sebenarnya sederhana saja tetapi karena dimainkan
dengan teknik pukul yang tinggi serta dinamika yang sangat kuat seolah
komposisi musik ini sangat rumit. Ini memang dari ciri gendhing-gendhing
tradisi yang biasanya selalu ngerawit (rumit) dalam aturannya.
Gendhing-gendhing
lama seperti “Gondoriyo”, “Kembang
Jeruk”, “Lemar-lemir”, Lebak-lebak” lan “Tetho Lelung”. Adalah gendhing-gendhing dengan tema-tema
kehidupan masyarakt pertanian dan tema-tema semangat membangun kepercayaan diri
dan kekuatan dalam bekerja dan berkegiatan di areal pertanian.
Disamping
gendhing-gendhing lama gendhing-gendhing baru seperti “Hoya-hoya”, “Jaran Ucul”
lan “Ojo Cilik Ati” juga biasa dimainkan
oleh masyarakat desa adat Kemiren. Namun teknik memainkan angklung paglak Kemiren
memang memiliki kekhasan yang tidak sama dengan teknik pukul pemain angklung
dari desa-desa adat lainnya di Banyuwangi.
Memanglah
benar jika dinyatakan kalau musik adalah bahasa yang universal. Musik dapat
membelah sekat-sekat kebangsaan dan kebahasaan. Tetapi perlulah diingat bahwa
musik angklung paglak milik masyarakat Kemiren memiliki identitas yang kuat
pada masyarakatnya. Kekuatan pada akar budayanya telah memberikan ciri
keindahan tertentu yang unik dan spesifik. Dinamikanya telah mencerminkan
kehidupan sehari-hari masyarakatnya sebagai masyarakat yang agraris yang kuat
dan tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan yang keras dalam usahanya di
bidang pertanian. Lompatan-lompatan nada dalam komposisi gendingnya merupakan
wujud dinamika masyarakat desa yang terus menggeliat mencoba terus untuk maju
dalam perkembangan jaman tetapi tetap berpijak pada akar budaya desanya yang
kuat.
Kemampuan
beradaptasi ini merupakan nilai sebagai warisan leluhur untuk dapat terus mampu
bertahan dalam kehidupan selanjutnya. Sekali lagi musik angklung menunjukannya
sebagai salah satu nilai yang terus dibawakannya. Masyarakat memainkan musik
angklung dengan komposisi yang diilhami oleh keadaan alam sekitar. Suasana
pedesaan serta hiruk pikuk berkegiatan di areal pertanian adalah tema-tema yang
berasal dari lingkungan dimana musik
angklung itu berada. Sehingga gendhing-gendhing seperti, “Kembang Jeruk”,
“Lebak-lebak”, maupun “Hoya-hoya” merupakan ekspresi dari kegiatan yang ada di
sekitar angklung tersebut berada.
PEMUSIK
ANGKLUNG YANG KONSISTEN
Angklung
paglak biasanya dimainkan dengan 2 unit angklung yang terdiri dari 12-15
bilahan bambu. Satu angklung dimaksudkan sebagai pembawa gendhing (pemimpin
melodi) sedang satu unit lagi pengiring (timpalannya). Selain angklung untuk
memberi kesan iringan ditambahkan 2 kendhang kecil. Kendhang kecil ini dipukul
dengan pemukul terbuat dari bambu yang ujungnya diberi karet/atau bahan lunak
lain. Kendhang kecil satunya sebagai panthus (pemimpin) dan kendhang satunya
sebagai lincangan (pengisi).
Pemain
angklung paglak desa Kemiren sampai saat ini masih konsisten dengan gaya
bermainnya. Walau dibeberapa daerah pemain musik angklung telah mengadopsi
permainan musik modern dalam angklungnya. Pemusik angklung paglak Kemiren
terkenal seperti Ajir telah memberi dasar yang kuat kepada penerus-penerusnya
untuk memainkan angklung paglak secara konsisten seperti pendahulunya.
Selanjutnya Mbah Pathan dan Mbah Mislan
meneruskannya dalam komposisi gendhing-gendhing lama yang ajeg dan terjaga
resistensinya. Pemain angklung paglak saat ini yang masih memainkan terus
adalah Ribut, Asri, lan Rayis. Mereka adalah pewaris angklung paglak yang akan
menjaga keberadaan angklung paglak di desanya.
Regenerasi
dari pemusik angklung tentunya sekarang menjadi tantangan demi kelanjutannya di
masa depan. Anak-anak para musisi sekarang seharusnya telah mulai mencoba untuk
mengaktualisasikan dirinya. Seperti kesenian tradisional lainya, musik angklung
memang tidak lepas dari warisan secara turun-temurun dalam generasinya. Nenek
kepada anak, dan selanjutnya anak kepada cucu begitu dan seterusnya. Kesadaran
akan keberlangsungan adanya musik angklung paglak di desa Kemiren harus terus
diusahakan agar segera tercipta keturunan berikutnya yang akan mewariskan
angklung ini.
KEKAYAAN
BAMBU SEBAGAI POTENSI.
Bambu sebagai bahan dasar pembuatan
musik angklung sampai sekarang keberadaanya di desa Kemiren masih sangat
mencukupi. Jenis Bambu benel adalah bambu yang paling sering dipilih untuk
membuat angklung di desa Kemiren. Bambu ini mempunyai kelebihan suara yang
lebih lembut jika dibandingkan dengan jenis bambu yang lain. Disamping dapat
menghasilkan suara yang lebih lembut bambu ini juga lebih tahan terhadap
perubahan cuaca, lentur dan tidak mudah pecah.
Bambu benel sendiri mempunyai beberapa
jenis, misalnya jenis bambu benel putih, benel hitam, dan benel tutul. Di desa Kemiren masihlah tetap memilih bambu benel
putih untuk membuat angklungnya. Hal ini dikarenakan bambu benel putih
mempunyai ketebalan yang lebih jika dibandingkan dengan benel hitam atau benel
tutul.
Pilihan pada bambu ini bisa disadari,
mengingat bambu benel putih adalah salah
satu jenis bambu yang masih sangat
banyak dan berkembang baik di desa Kemiren. Tentu saja tidak semua bambu benel
putih dapat dibuat menjadi angklung dengan kualitas baik. Bambu benel ini
biasanya harus memiliki umur minimal satu setengah tahun untuk bisa dipotong
dan dibuat angklung.
Menurut Andi Supandi salah seorang
warga desa Kemiren yang biasa membuat angklung paglak membuat angklung harus
memilih dan menentukan hari baik. Kepercayaan akan hari baik masih dijadikan
dasar untuk tahapan proses pembuatan angklung.
Dimulai dari memotong bambu untuk
angklung harus mencari hari baik. Terlepas dari kepercayaan hitungan hari baik
yang jelas memotong bambu untuk membuat musik angklung tidaklah boleh pada hari
sembarangan. Seumpamanya memilih hari Sabtu hari yang dipercaya mempunyai naptu
(hitungan angka tertinggi dalam hari) yaitu hitungan angka 9. Angka sembilan
dipercaya sebagai angka tertinggi dalam hitungan hari.
Sedangkan pasaran hari dalam hitungan
penanggalan Jawa haruslah dipilih pada saat pahing. Pahing dipercaya akan
memberi rasa pahit pada bambu sehingga bambu nanti tidak akan disukai oleh
binatang-binatang kecil atau serangga ataupun ngengat pemakan bambu. Jelas di
sini yang diingini adalah bambu dengan kualitas tertinggi yang dapat
menghasilkan suara yang bagus serta ditambah ketahanan bambu dalam menhadapai
binatang penggangu seperti serangga dan ngengat perusak bambu.
Pemilihan hari dan pasaran dalam
memotong bambu yang akan dijadikan angklung adalah bentuk kepercayaan yang
masih kuat mengakar dalam masyarakat desa adat Kemiren.
Dengan
kepercayaan ini setidaknya telah menempatkan angklung bukan hanya sekedar alat
musik. Tetapi sebagai satu bagian dari kehidupan budaya masyarakat desa Kemiren.
Jika memotong bambunya saja memerlukan hari tertentu apalagi nanti saat proses
pembuatannya.
Disamping menentukan hari saat
pemotongan bambunya, juga yang tidak kalah pentingnya adalah bulan-bulan baik
saat memotong bambu. Pada saat musim penghujan seperti bula-bulan Agustus
sampai Desember disebut bukanlah saat yang tepat untuk memotong bambu.
Masyarakat desa Kemiren percaya saat itu bambu sedang menyusui anaknya. Batang-batang
bambu saat itu mengandung susu sehingga rasanya manis, jika bambu itu dipotong
pada saat menyusui bambu akan sangat disukai binatang, atau serangga perusak
bambu. Kalaupun dipaksa untuk dijadikan angklung pastilah angklung tidak akan
bisa bertahan lama. Karena akan disukai ngengat atau serangga yang merusak
bambu.
Pada musim-musim penghujan tanaman
bambu saatnya mulai bertunas. Menebang atau memotong bambu saat itu akanlah
merusak tunas-tunas yang sedang tumbuh. Kiranya kepercayaan ini patutlah diakui
jempol sebagai penjaga kelangsungan kehidupan tanaman bambu itu sendiri.
Kepercayaan rupa-rupanya telah menjadi
nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat desa adat Kemiren. Nilai-nilai yang
tertanam dalam kehidupan masyarakat telah mampu menjaga keseimbangan ekosistem
yang ada di desa tersebut. Nilai-nilai akan kepedulian terhadap lingkungan yang
telah tertanam dalam masyarakat ini sepertinya telah memberi kelangsungan pada kehidupan bambu itu sendiri
sebagai tanaman yang penting dalam menjaga sumber air di desa adat Kemiren.
MERAWAT BAMBU MERAWAT KEHIDUPAN
Lebih
lanjut, bagi Andi Supandi adalah yang
sangat penting yaitu mulai memproses bambu menjadi bahan angklung siap pakai.
Setelah bambu dipotong selanjutnya tidak semua bambu dapat langsung dijadikan
angklung. Bambu harus melalui tahapan pengeringan. Mengeringkan bambu juga
tidak bisa langsung dijemur dibawah terik matahari. Karena bambu yang saat
masih basah akan langsung mengkerut apabila langsung terkena terik matahari.
Bambu harus dijemur dalam posisi berdiri di tempat yang teduh yang tidak
langsung terkena sinar matahari.
Merawat bambu seperti ini sama
repotnya dengan merawat bayi, begitu ujar Andi Supandi. Setelah bambu kering
secara perlahan dalam posisi berdiri di tempat yang teduh selanjutnya bambu
dipotong dalam ruas-ruasnya sesuai keperluan untuk tiap nada dalam angklung.
Setiap bambu akan dipotong dalam tiap dua ruasnya . ini dimaksudkan untuk
membuat ruang resoanansi dalam setiap nadanya.
Setelah itu bambu yang terpotong akan
disimpan diatas pogo (tempat diatas tungku dapur). Di atas pogo bambu-bambu
akan tersimpan selama 3-4 bulan minimal.
Bambu-bambu yang telah tersimpan diatas pogo selama 3-4 bulan minimal inilah
yang selanjutnya dapat di buat menjadi angklung. Masyarakat desa Kemiren masih
setia dengan proses yang lama untuk pembuatan angklung ini. Sebab tahapan
pembuatan angklung ini sudah menjadi tradisi. Menjaga tradisi di desa Kemiren adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang
masih dipelihara hingga kini.
Musik angklung seolah mengajarkan akan
adanya sebuah perjalanan atau proses yang harus dilalui dalam kehidupan ini.
Sesuatu yang harus berjalan bersamaan waktu. Penghargaan terhadap tahapan dan
prosedur adalah salah satu sikap yang telah tertanam bagi masyarakat angklung
itu sendiri. Mengingat angklung tidak
bisa dibuat secara instan seperti dalam kehidupan modern saat ini. Disadari
atau tidak ternyata proses yang tidak
melewati tahapan tertentu telah memberikan dampak yang tidak baik dalam
kehidupan manusia. Sebut saja misalnya makanan siap saji atau makanan instan
yang ternyata tidak baik bagi kesehatan manusia. Sama seperti bambu angklung
yang harus melalui perjalanan panjang untuk menghasilkan angklung dengan
kualitas baik.
MELARAS ANGKLUNG MELARAS KEBEBRBEDAAN
Jikalau bambu telah siap untuk dilaras
menjadi angklung pastilah bambu ini telah memiliki kekeringan yang maksimal
tanpa adanya unsur air di dalamnya. Sebab jika bambu masih mempunyai unsur air
di dalamnya maka laras angklung tidaklah bisa dapat bertahan lama. Nadanya akan
cepat berubah bersamaan dengan susut keringnya. Hal ini tentu saja akan
memaberikan pekerjaan lagi karena harus melarasa lagi nantinya pada saat nada
berubah seiring susut kering bambu.
Selanjutnya adalah menentukan ruang
resonansi dalam tiap tabungnya. Sebab ruang resonansi akan menentukan merdu
tidaknya nada yang dihasilkan dari bilah bambunya. Posisi bambu haruslah dalam
posisi terbalik. Bagian ujung berada dibawah sedang bagian pangkal akan berada
di atas. Setelah ruang resonansi terbentuk barulah menentukan nada dari tiap
bilahnya. Nada pada bilahnya haruslah sesuai dengan nada pada ruang resonansi bambu,
sehingga nada biasa bergema dan saling berbenturan secara harmonis dan
menghasilkan nada yang bergema merdu. Melaras angklung sangat membutuhkan
kejelian telinga pembuatnya. Ini sangat mebutuhkan keahlian dan kepekaan
terhadap nada dari pembuatnya.
Salah satu kekayaan lagi dalam hal
laras angklung di Banyuwangi adalah tidak adanya patokan khusus yang harus
dianut untuk setiap tinggi rendahnya nada dasar dalam membuat angklung. Setiap
kampung atau bahkan setiap empu pembuat angklung mempunyai patokan sendiri
dalam menentukan setiap nadanya dalam angklung. Setiap interval dalam tiap
nada-nadanya akan ditentukan oleh ketepatan pendengaran dari si pembuat
angklung. Untuk itu empu pembuat angklung biasanya telah memiliki master
angklung yang akan dijadikan patokannya sendiri.
Tapi setidaknya patokan berikut di
bawah ini akan memberikan gambaran scale nada-nada pada angklung Banyuwangi.
Jika diperhatikan dalam patokan berikut nada-nada angklung memiliki
perbandingan yang hampir mendekati dengan nada-nada pada gamelan Jawa pada
tangga nada selendro Jawa. Berikut ini patokan angklung ynang diukur dari
angklung yang ada di pendopo yang saat ini angklung itu telah berada di Taman
Mini Indonesia Indah pada Anjungan Jawa Timur.
Slendro Banyuwangi
|
Bumbung 1
paling bawah Wilahan 1
|
a # (446) Hz
|
Bumbung 2 Wilahan 2
|
c # (440) Hz
|
|
Bumbung 3
Wilahan 3
|
d # (444) Hz
|
|
Bumbung 4
Wilahan 4
|
f # (450) Hz
|
|
Bumbung 5
Wilahan 5
|
g # (440) Hz
|
Sudah jelas dinyatakan di atas jika
setiap daerah atau setiap desa memiliki aturan tersendiri dalam tingkatan
nadanya. Seumpama seperti diatas adalah scale untuk angklung Banyuwangi yang
kini telah berada di Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah ini telah
diukur dengan menggunakan scala oleh para ahli.
Kesepakatan untuk memahami keberbedaan
telah diajarkan dalam musik angklung ini. Di sini tak ada satupun kekuatan yang
mencoba menekan tiap kelompok. Semua diberikan kebebasan dalam membuat patokan
nada dasar angklung mereka.
Keberbedaan nada dasar di tiap
kelompok musik angklung sangat dihargai oleh kelompok musik angklung yang lain.
Hal ini masih dipertahankan sampai saat ini. Jika diamati lagi perbedaan
angklung-angklung dari desa-desa seperti desa Kemiren, desa Taman Suruh, desa
Bolot Aliyan, ataupun desa Benelan, ini jelas lagi berbeda jika dibandingkan
dengan nada-nada pada wilahan angklung tersebut di atas. Namun di sini bisa
disepakati untuk intervalnya adalah interval Tangga nada pentatonic selendro Banyuwangian
dengan lima nada pokok yaitu: 6 – 1 – 2 – 3 – 5. Inilah kekayaan dengan
perbedaan yang bisa disepakati oleh para musisi itu sendiri. Keberbedaan ini
sangatlah dapat diterima oleh setiap musisi.
PENYANGGA ANGKLUNG MENYANGGA MASA DEPAN
Angklung yang telah dilaras
selanjutnya dibuatkan penyangganya. Berbagai macam penyangga yang ada tergantung
dari keperluan angklung itu sendiri. Angklung paglak biasanya menggunakan
penyangga sederhana tanpa ukiran karena yang dipentingkan di sini adalah
bobotnya. Mengingat angklung paglak harus dibawa di ketinggian yang tentu saja
membutuhkan bobot yang lebih ringan agar mudah untuk di bawa dan tidak
membebani paglak itu sendiri.
Angklung paglak biasanya mneggunakan
penyangga bambu sederhana ataupun menggunakan kayu ringan yang sederhana. Namun
untuk angklung caruk biasanya menggunakan penyangga berukir naga yang indah.
Ukiran naga berkepala gatut kaca biasanya akan memberi identitas akan kekhasan
angklung Banyuwangi yang berbeda dengan angklung-angklung dari daerah lain di
Nusantara.
Adalah
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri akan keberbedaan yang ada pada masayarakat
Banyuwangi. Dari sini kiranya akan memberikan kesadaran akan pentingnya peghargaan
akan keberbedaan yang justru akan memberikan kekayaan pada seni tradisi
masyarakat Banyuwangi itu sendiri. Angklung dengan tanpa patokan bersama memberi
symbol akan kuatnya penghargaan masyarakat Banyuwangi terhadap keahliaan yang
dimilki orang lain. Setiap daerah dengan kearifan lokal tertentu akanlah mengangkat
indentitas dan jati diri seni tradisi itu sendiri.
Menjaga
keberlangsungan seni tradisi nyatanya membutuhkan penyangga yang kuat yang
berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai luhur yang telah
terpelihara dalam kehidupan masyarakat desa selama ini merupakan bukti
ketahanan dalam menghadapi gempuran kehidupan budaya modern. Kelestarian
nilai-nilai luhur dalam masyarakat di desa ini akan mempertahankan bukan saja
seni tradisi tetapi juga kehidupan budaya masyarakat desa itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar