Syair
dan Lagu dari Gandrung,
Angklung,
hingga Dangdut Koplo
Ditulis: Drs. Moh.
Syaiful
Podho nonton
Pundak sempal ring lelurung
Ya pendite pundak sempal
Lambeane para putra
Kejala ring kedung sutra
Tampange tampang kencana
Pundak sempal ring lelurung
Ya pendite pundak sempal
Lambeane para putra
Kejala ring kedung sutra
Tampange tampang kencana
Kembang menur
Melik-melik ring bebentur
Sun siram-siram alum
Sun pethik mencirat ati
Melik-melik ring bebentur
Sun siram-siram alum
Sun pethik mencirat ati
Lare angon
Gumuk iku paculono
Tandurono kacang lanjaran
Sak unting oleh perawan
Gumuk iku paculono
Tandurono kacang lanjaran
Sak unting oleh perawan
Kembang gadung
Sak gulung ditawa sewu
Nora murah nora larang
Hang nowo wong adol kembang
Sun barisno ring Temenggungan
Sun iring payung agung
Lambeane membat mayun
Sak gulung ditawa sewu
Nora murah nora larang
Hang nowo wong adol kembang
Sun barisno ring Temenggungan
Sun iring payung agung
Lambeane membat mayun
Kembang abang
Selebrang tibo ring kasur
Mbah Teji balenono
Sun enteni ring paseban
Dung Ki Demang mangan nginum
Seleregan wong ngunus keris
Gendam gendis kurang abyur
Selebrang tibo ring kasur
Mbah Teji balenono
Sun enteni ring paseban
Dung Ki Demang mangan nginum
Seleregan wong ngunus keris
Gendam gendis kurang abyur
(Noname)
Mengamati
syair lagu Podho nonton memanglah sangat menarik. Indah dan begitu penuh
menmyimpan makna tersembunyi. Ini adalah syair yang perlu pemikiran berat untuk
memaknainya. Kata demi kata yang terjalain jika ditafsirkan sepertinya
mempunyai makna lain yang tak seperti kata demi kata yang tertulis. Ada hal
yang disembunyikan dengan kata-kata indah yang dirangkai penulisnya.
Duh…sepertinya butuh seorang satrawan senior untuk bisa menafsirkan makna yang
dikandungnya. Podho Nonton, Lagu di atas nyatanya sudah ada sejak tahun 1800-an.
Syair itu seterunya dinyanyikan oleh gandrung ke seluruh bumi Blambangan ini,
begitu menurut keterangan Hasan Ali (Alm) budayawan Banyuwangi. Lagu Banyuwangi di jaman itu sudah dapat
memberikan barometer yang sangat tinggi akan kemampuan sastra orang-orang yang
membuatnya. Hal ini sudah tak dapat disangkal lagi.
Disamping
memiliki makna tersembunyi karena keadaan dalam jaman penjajahan kolonial
lagu-lagu Banyuwangi juga ada yang mempunyai makna sakral. Lagu-lagu yang
dibuat adalah sebagai sarana upacara persembahan ataupun ritual-ritual dalam
upacara adat di daerahnya. Baqhkan syair lagu yang dibuat adalah bahasa mantra
untuk mendatangkan roh ataupun mahluk gaib. Lagu-lagu seperti itu dinyanyikan
dalam upacara Seblang . syair lagu ini
tentunya juga tidak dapat sembarang dinyanyikan, ada saat da nada ketentuan
dalam membawakannya. Jika dinyanyikan dengan syarat dan ketetntuannya syair
lagu itu bagai mantra yang bisa mengundang mahluk gaib seperti; para
lelembut/wong alus/danyang. Para mahluk gaib seperti lelembut/danyang tersebut
dengan syair lagu yang dinyayikan bisa merasuki kepada seblang (penari dalam
ritual adat sebalang). Seperti syair lagu “Seblang Lukento” misalnya, syair
lagu ini jika ditembangaken 10 kali diulang dengan musik dan syarat-syarat
lainnya roh danyang/lelembut bisa merasuk dalam raga penarinya. Istilahnya
“ndadi” (kejimen/kerawuhan atau kesusupan).
Demikian
juga dengan syair lagu “Lilira Kantun” juga tergolong syair dan lagu yang
memiliki nilai magis dan bisa mendatangkan roh saat ditembangkan dengan
syarat-syarat yang sesuai ketentuan. Belum jelas siapa yang menciptakan
syair-syair lagu tersebut. Ada yang percaya Mbok Widodari (Dewi Sri danyang
penguasa pertanian). Di beberapa tempat Mbok Widodari disebut juga Ratu
Seblang. Lebih jelasnya syair lagu tersebut seperti di bawah ini:
Seblang Lukinto
Seblang-seblang
ya lukinta, sing dadi encakono,,,X10
Liliro
kantun sak kantune liliro
Yugo
yo sapanen dayoh riko
Mbok
Surgubo milu tomo….X10)
Sejak
jaman Blambangan kuna sampai jaman Banyuwangi modern saat ini, Masyarakat Using Banyuwangi
sepertinya tak pewrnah kehabisan ide untuk membuat syair lagu Banyuwangian. Ada
saja selalu sumber ide yang dapat dijadikan tema lagu dan syair-syairnya. Dari
yang ungkapan perasaan cinta, perjuangan, cita-cita, kegiatan dalam kehidupan
sehari-hari bahkan pula kritik dan senda gurauan. Memanglah masyarakat Using Banyuwangi
punya kelebihan dalam hal syair lagu dan tetembangan. Podho Nonton, adalah
bukti nyata yang dapat mengukur kemampuan berolah seni masyarakat Banyuwangi
pada masa itu. Meskipun baru sebatas sastra lisan yang berupa tembang namun
karya sastra ini kiranya dapat menunjukkan kemampuan masyarakat Using Banyuwangi
dalam hal sastra. Kekeuatan syair ini tentunya ada pada lagunya disamping
kekuatan isi yang terkandung di dalamnya.
Di
jaman dahulu syair dan lagu itu disebarkan oleh penari gandrung dari satu desa
ke desa lainnya. Saat itu memanglah masih belum ada media rekam seperti
sekarang ini. Cara penyebarannya ya hanya dari mulut ke mulut seperti orang
menyampaikan berita dalam bahasa lisan saja. Tidaklah heran jika banyak syair
yang berubah sedikit banyaknya karena hanya berpegang pada lisan saja tanpa
diperkuat dengan tulisan.
Di
jaman Kolonial Belanda gandrung lanang seperti gandrung Marsan keluar masuk
dari desa ke desa dan dari hutan ke hutan untuk menyampaikan pesan-pesan
perjuangan lewat syair dan lagunya yng ditembangkan saat dia “ngamen” (menyamar
agar tidak diketahui penjajah belanda). Syair
dan lagu-lagu yang dibawakannya syarat akan pesan dan kabar yang tersembunyi
untuk meyambung lidah perjuangan mengusir penjajah saat itu. Dalam masa itu
semua syair dan lagu memanglah masih anonim dan penciptanya disembnunyikan agar
tak mudah diketahui penjajah. Keadaan saat itu pemerintahan kolonial sangatlah
kejam kepada para pejuang kemerdekaan. Jika sampai ketahuan maka hukumannya
adalah mati. Sehingga Pesan dan kabar dan perjuangan selalu disimbolkan dengan
rangkaian kata yang indah. Sebagai contoh adalah lagu Kembang Waru”, syair lagu
ini jumlah barisnya ada 4 baris, berisi dua baris sampiran dan dua baris isi.
Hampir sama seperti karya sastra lama yaitu pantun. Jumlah suku kata dalam
gendhingnya memanglah harus sesuai dengan Kembang Waru termasuk juga jatuh
nadanya pada awal dan akhir kalimat dalam satu barisnya. Kesepahaman ini telah
dimengerti oleh semua orang sehingga orang lainpun boleh membuat syairnya
sesuai dengan larik tembang dalam “Kembang Waru” tersebut. Kebanyakan syair
yang dibuat di jaman itu adalah makna yang tersembunyi (pasemon). Kebanyakan lagu dan syair adalah (pantun) basanan, guritan (puisi), lan
syi’iran (syair). Coba kita amati syair dan lagu “Layar Kumendhung” berikut ini. Yang kurang
lebih berisi tentang gambaran perjuangan yang tidak akan pernah padam walaupun
kekuatan musuh terus ditambah dan ditambah lagi. Mengajak para pejuang untuk
bangkit dan terus melawan sampai titik darah penghabisan.
Layar-layar kumendung
Umbak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Tumenggung numpak kereta
Lilira kantun
Sang kantun lilira putra
Sapanen dayoh rika
Mbok srungkubo milu tama
Lilira guling
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang ngelilira
Sawah bendo ring seloka
Itu
adalah salah satu syair dan lagu gandrung jaman dahulu, syair lagu di jaman
kini tentunya banyak perubahan dan berbeda dengan syair lagu jaman dulu. Proses
ciptanya hanya dibantu media seperti kendhang, kethuk, Gong, biola, dan
kluncing (tree angel).
Kemampuan
masyarakat Using Banyuwangi dalam bidang syair dan lagu teruslah diuji dalam
perkembangan jamnnya. Perkembangan cipta syair dan lagu sudah semestinya
mengikuti perkembangan jaman. Di Jaman perjuangan kemerdekaan orang-orang
membuat syair dan lagu tentang perjuangan begitu pula dijaman rakyat sengsara
dalam kehidupannya tema syair dan lagu juga mengikuti kehidupannya. Tak luput
juga di masa pergolakan politik di tahun 1965-an syair dan lagu juga bertema
seputar politik dan kekuasaan. Jika kita amati syair dan lagu yang dibuat oleh
Endro Wilis yaitu “Jaran Ucul”. Atau
lagu M. Arief “Genjer-genjer” dan “Mbok
Irat”. Di jaman itu syair dan lagu yang tercipta adalah penggambaran masalah
kehidupan, kritik sosial dan keadaan sulitnya ekonomi masyarakat pada masa itu
padahal mereka hidup di tanah yang subur makmur seperti tanah Banyuwangi. Endro
Wilis menggambarkan itu semua dalam lagunya “Jaran Ucul”. Demikian pula dengan M.
Arief yang konsisten dengan kelompok angklungnya, M. Arief membuat perubahan
baru dalam syair dan lagunya. Lagu-lagunya kini tidak dibatasi dengan Basanan
(pantun) ataupun syi’iran (syair) namun sudah ke bentuk puisi bebas sehingga
lagu yang tercipta punya rasa baru pada saat itu. M. Arief juga mulai
menuliskan lagunya seperti orang modern kebanyakan dalam membuat lagu. Notasi
dituliskannya dalam lambing angka nem, ji , ro, lu, mo, yaitu tangga nada
pentatonic slendro Banyuwangi. Selanjutnya mungkin akan lebih tepat jika
dinamakan Slendro Banyuwangian karena slendro ini memang berbeda dengan slendro
Jawa yang selama ini dikenal. Disamping tangganada slendro di Banyuwangi juga
dikembangkan tangganada pentatonic pelog, mungkin ini adalh pengaruh dari Seni
Damarwulan/Janger yang jelas-jelas menggunakan pelog enem (pelog Bali) dalam
instrument pengiringnya. . “lagu-lagu
seperti “Janger” “Barong Sumur” mulai
tercipta di tahun 1970-an saat Damarwulan/Janger mencapai masa keemasannya.
Tangga nada pelog nem atau juga disebut pelog Bali itu diantaranya : 7-1-3-4-5.
Pelog ini hamper sama dengan laras pelog pada musik instrument Bali.
Selanjutnya
masih ditahun-tahun ini tak bisa lepas dari seorang seniman yang getol membuat
syair lagu Banyuwangi yaitu Fatrah Abal (Faturrahman Abu Ali). Lagu “Gelang Alit”, “Tetak-tetak” dan “Angen-angene
Wong Tuwek” yang dilantunkan dengan Orkes Melayu. Di jaman ini memang sedang
ramai-ramainya orang membuat grup orkes melayu. Syair dan lagu-lagu pada masa
ini tidaklah jauh dengan masalh-masalah cinta dan roman . Hal ini bisa dipahami
mengingat saat itu pemerintah sangat ketat dalam memberi pengawasan terhadap
syair dan lagu yang ada di Banyuwangi. Pengalaman sejarah sepertinya memberi
pelajaran yang berharga pengawasan terhadap syair dan lagu yang berkaitan
dengan partai politik terlarang pastilah tidak akan dapat beredar di
masyarakat.
Pada
tahun 1974, BS Noerdian dan Andang CY menciptakan lagu “Umbul-umbul
Belambangan”. Lagu ini sepertinya ada upaya untuk menggelorakan kembali
semangat Nasionalisme dan meningkatkan rasa cinta tanah air utamanya kepada
tanah Blambangan ini. Nanti di tahun 2007 lagu ini ngetop kembali karena justru
dinyayikan oleh Samsul Hadi Bupati Banyuwangi di kala itu. Coba kita amati
syair lagunya yang memberikan rasa dan menggelorakan semangat cinta tanah
air-nya. Jika yang mendengarnya tidaklah bangkit jiwa nasionalisme kiranya
belumlah dikatakan masyarakat Using Banyuwangi sejati.
Umbul-umbul
Belambangan
Bul-umbul
Belambangan 3x
Umbul-umbul Belambangan eman
Umbul-umbul Belambangan eman
He umbul-umbul he Belambangan 2x
Belambangan,
Belambangan
Tanah Jawa pucuk wetan
Sing arep bosen sing arep bosen
Isun nyebut-nyebut aran ira
Belambangan, Belambangan
Tanah Jawa pucuk wetan
Sing arep bosen sing arep bosen
Isun nyebut-nyebut aran ira
Belambangan, Belambangan
Membat
mayun Paman
Suwarane gendhing Belambangan
Nyerambahi nusantara
Banyuwangi kulon gunung wetan segara
Lor lan kidul alas angker
keliwat-liwat
Belambangan.. Belambangan
Suwarane gendhing Belambangan
Nyerambahi nusantara
Banyuwangi kulon gunung wetan segara
Lor lan kidul alas angker
keliwat-liwat
Belambangan.. Belambangan
Aja takon
seneng susah kang disangga
Tanah endah gemelar ring taman sari nusantara
He.. Belambangan He Belambangan
Gemelar ring taman sari nusantara
Tanah endah gemelar ring taman sari nusantara
He.. Belambangan He Belambangan
Gemelar ring taman sari nusantara
Belambangan
he seneng susahe wistah aja takon
Wis pirang-pirang jaman turun temurun yong wis kelakon
Akeh prahara taping langitira magih biru yara
Magih gedhe magih lampeg umbak umbul segaranira
Wis pirang-pirang jaman turun temurun yong wis kelakon
Akeh prahara taping langitira magih biru yara
Magih gedhe magih lampeg umbak umbul segaranira
Belambangan
he.. gunung-gunungira magih perkasa
Sawah lan kebonanira wera magih subur nguripi
Aja kengelan banyu mili magih gedhe seumberira
Rakyate magih guyub ngukir lan mbangun sing mari-mari
Sawah lan kebonanira wera magih subur nguripi
Aja kengelan banyu mili magih gedhe seumberira
Rakyate magih guyub ngukir lan mbangun sing mari-mari
He
Belambangan lir asata banyu segara
Sing bisa asat asih setya baktinisun
Hang sapa-sapa baen arep nyacak ngerusak
Sun belani sun dhepani sun labuhi
Sing bisa asat asih setya baktinisun
Hang sapa-sapa baen arep nyacak ngerusak
Sun belani sun dhepani sun labuhi
Ganda
arume getih Sritanjung yong magih semebrung
Amuke satria Menakjingga magih murub ring dhadha
Magih kandel kesaktenane Tawang Alun lan Agung Wilis
Magih murub tekade Sayuwiwit
Lan pahlawan petang puluh lima
Amuke satria Menakjingga magih murub ring dhadha
Magih kandel kesaktenane Tawang Alun lan Agung Wilis
Magih murub tekade Sayuwiwit
Lan pahlawan petang puluh lima
Ngadega
jejeg ngadega jejeg
Umbul-umbul Belambangan
Ngadega jejeg adil lan makmur
Nusantara
Umbul-umbul Belambangan
Ngadega jejeg adil lan makmur
Nusantara
Selepas
dari masa politik dan nasionalisme di tahun 1980-an mulailah lagu-lagu di Banyuwangi
mulai terjangkit aliran pop. Masih tetap eksis lagu daerah Banyuwangi tetaplah
berkibar diantara hingar-bingar musik pop Indonesia saat itu. Tokoh Bung
Sutrisno hadir membawakan kreasi baru dan mencoba mengembangkan dari orkes
melayu menjadi orkes kendhang kempul. Bung Sutrisno bersama grupnya “OM ARBAS” memasukkan
unsur kendhang dan kempul (lebih tepatnya kethuk) diantara petikan suara gitar
listrik dan mendayunya suara Keyboard. Gitar Listrik dan Keyboard yang
menggunakan tangga nada diatonic barat dan cengkok Banyuwangi yang meliuk
dalam pentatonic selendro Banyuwangi disatukan. Lagu “Konco Lawas” yang
dinyanyikan Alief S. seolah membius masyarakat Banyuwangi kala itu. Seperti ciri
dari aliran pop syairnya memanglah tidak terlalu berat, ringan namun terasa
bersahaja diantara kehidupan masyarakat yang memasuki dunia modern saat itu.
Coba kita amati syair lagu “Konco Lawa” tersebut:
Konco Lawas
Assalamualaikum…
…(Walaikum
salam)
Apa rika padha
seger waras
Isun kangen suwe
sing ketemu
Pirang tahun rika sung tinggal
…(Rika menyang ngendi)
Isun menyang golet penggawean
Yo wis asil ulih pendongan rika
Reff:
Tapi masio urip
isun seneng
Konco lawas yo
sing lalikaken
Rika kabeh aja kuatir
Akeh sithik rika
bakal sun tulung.
Yang
lebih mengejutkan dari Wong Using Genteng ini adalah upayanya pentatonic Sunda ke
dalam garapan kendhang kempulnya. Sebelumnya
musik Kendhang kempulan tidaklah jauh dari pentatonic slendro Banyuwangian. Daya
kreatifitasnya makin menjadi untuk mengutak-atik lagu-lagu Sunda yang saat itu
juga sedang hangat di tanah air menjadi bagian dari lagu Banyuwangian. Gendhing
slendro Banyuwangi murni: 6- 1-2-3-5 diuthak-uthik ditambahkan menjadi 6-7-1-2-3-5.
Lagu-lagu seperti “Isun Lamaren” dan “Tanpa Lamaren” adalah bukti nyata hasil
olah pikir Bung Sutrisno yang luar biasa. Coba dengarkan juga lagu “Rehana” yang
dibuat Andi Soeroso. Dari syair dan lengkingan nada-nadanya sangat kental warna
po-nya. Inilah kreasi Wong Using Banyuwangi yang tak pernah berhenti di dunia
syair dan lagunya.
Di
jaman kini syair dan lagu lebih banyak menceritakan cinta dan roman percintaan
anatara lawan jenis pria dan wanita. Bisa dipahami di jaman modern yang lebioh
menghargai kebebasan berekspresi penciptanya. Individualisme sudah menjadi ciri
dari kehidupan masyarakat modern. Lagu di jaman kini sudah mulai di rekam dalam
bentuk kaset atau pita. Rekaman kaset pita begitu memasyarakat. Orang yang bisa
menyanyi sudah bukan lagi diberi julukan gandrung atau sinden tetapi menjadi
penyanyi seperti perkembangan dunia musik modern. Penyanyi seperti Sumiyati dan
Yuliatin selanjutnya keluar masuk dapur rekaman Lagu Andang CY, BS Noerdian,
Macfoed semakin terasa enak digarap nganggo musik Kendang kempulan ini. “Ulan Andhung-andhung”,
“Uga-uga” dan “Cakrak Ungkal” kembali disukai masyarakat Banyuwangi lagi kala
itu. Generasi berikutnya adalah Niken Arisandi lan Dian Ratih. Jaman ini
lagu-lagu yang mengahru biru dan melankolis sangat disukai seperti karya Hawadin “Welas Sun Sidem”, “Stasiun
Argopura” yang dibawakan Niken Arisandi.
Di
tahun 2000-an Catur Arum lan Yon’s DD bersama POB-nya (Patrol Orkestra Banyuwangi)
membuat lagu “Usum Layangan”, “Sumebyar”, “Telung Segara”, dan lain-lainnya. Catur
Arum bersama POB-nya membuat lagu Banyuwangi dengan irama bosas, blues, dan
rock yang jelas-jelas berasal dari barat. Catur dengan gaya malu-malunya di
atas panggung justru mendapat tempat di hati masyarakatnya. Bisa dikatan Catur menyanyi
tanpa cengkok yang meliuk seperti kebanyak penyanyi-penyai sebelumnya namun dia
bisa mendapatkan tempat tersendiri di hati pecinta musik daerah Banyuwangi. Duetnya bersama Adistiya Mayasari yang
bersuara bening seperti air di Taman Suruh menambah kekuatan tersendiri untuk
POB (Patrol Orkestra Banyuwangi). Kaset dan CD-nya saat itu begitu diburu
masyarakat hingga sulit ada dipasaran.
Yang
mudah diingat dari garapnnya tentunya adalah pada suarane angklung bambu danan kluncing (treeangle; salah satu
instrument dalam musik gandrung) Banyuwangi. Meskipun POB tidak memasukkan
kendhang dan kempul dalam musiknya namun ciri khasnya sangat nampak pada ritme suara
angklung dan kluncing yang dipakai dalam instrument ritmisnya. Nampak terlihat
menonjol dari ritme angklung pada album “Usum Layangan”-nya POB ini menampakkan
POB masih memiliki rasa cinta pada musik tradisinya. Tidak lepas jika POB
memasukan angklung pada irama bosas-nya karena angklung bambu memanglah memiliki
sound yang lembut yang cocok dengan bosas dan blues-nya. Pembaharuan angklung
yang dilakukan POB adalah pada perubahan tangga nada pada angklungnya.
Perubahan dari titi laras slendro Banyuwangi menjadi tangga nada diatonic
minor. Sehingga angklungnya POB sebelumnya telah dituning standart diatonic
minor barat. Satu lagi langkah POB yang menggembirakan. Lagu Usum
Layangan yang berbirama tiga perempat adalah satu langkah berani pada lagu-lagu
Banyuwangi. Selama ini masihlah sangat jarang lagu dengan pola irama seperti
“Usum Layangan” ini. Langkah ini ternyata bisa juga diterima masyarakat pecinta
musik daerah Banyuwangi. Album perdana POB sangat laris di pasaran. Album yang
saat itu masih direkam dalam bentuk kaset pita selalu diburu penikmat musik
daerah di Banyuwangi dan sekitarnya. Namun sangat disayangkan akhirnya POB
pecah personilnya. Catur Arum bersolo karir demikian juga dengan Yon’s DD juga
begitu. Catur dengan suara dan gaya khasnya ternyata masih sangat disuka
masyarakat walaupun dia bersolo karier. Catur mencoba mendaur-ulang lagu-lagu lama
dengan gayanya yang khas tanpa gerakan yang meliuk dan hampir tanpa cengkok
menukik lagu-lagu lama kembali menjadi incaran masyarakat. Lagu-lagu lama
seperti: “Prawan Sunthi”, “Ancur Lebur”, “Lir Pedhote Banyu”,lan “Tamba Kangene
Ati”. Di sini kita coba ingat kembali dari syair lagi “Sumebyar” dari album
perdana POB (Patrol Orkestra Banyuwangi):
Sumebyar
Sing tau tauo, atinisun bingung
gedigi
Sakat riko tinggal, urip isun rasane koyo nggantung
Pikiran sering ngelamun,
Sampek awak, dadi koyo wong linglung
Sakat riko tinggal, urip isun rasane koyo nggantung
Pikiran sering ngelamun,
Sampek awak, dadi koyo wong linglung
Kabar wis semebyar,
Riko lan isun arep jejodoan
Embuh keneng setan paran,
Riko ninggal isun tanpo jalaran
Riko lan isun arep jejodoan
Embuh keneng setan paran,
Riko ninggal isun tanpo jalaran
reff :
Mulo titip salam, nong angin lan derese udan
Warahen isun ngenteni, tekan riko eman
Embuh sampek kapan, isun emong nanggung wirang
Sun enteni, nong cracabane lawang
Mulo titip salam, nong angin lan derese udan
Warahen isun ngenteni, tekan riko eman
Embuh sampek kapan, isun emong nanggung wirang
Sun enteni, nong cracabane lawang
Setelah
itu genre musik di Banyuwangi berubah menjadi musik dangdut koplo. Perubahan jaman nyata memanglah
tak bisa ditolak dan dihindari. Begitu juga dengan perubahan genre musik di Banyuwangi
ini. Lagu-lagu Banyuwangi nyatanya telah ikut-ikutan dalam hingar-bingarnya musik
dangdut koplo ini. Sebut saja Reny Farida dan Ratna Antika yang membawakan
kembali tembang lawas dengan aransemen dangdut koplo ini. Dalam musik ini kendhang
Banyuwangi diganti dengan kendang table india walaupun terkadang keplak Banyuwanginya
masih sangat kentara. Coba kita amati saja lagu “Aja cilik Ati”, “Sing Duwe
Isin”, dan “Bokong Semok” dijamin bakaln kepingin goyang badan denger garap
musiknya ini. Kolaborasi ini nyatanya begitu kuatnya mempengaruhi masyarkat
hingga lagu-lagu bergaya ini meledak hingga keluar daerah banyak orang yang
memutar CD-nya. Ditambah lagi perkembang teknologi informasi dalam dunia maya.
Coba saja googgling di internet terus ketik saja Gendhing Banyuwangi, pastilah banyak web dan situs yang menawarkan
dalam bentuk MP3 ataupun MP4 untuk dapat diunduh gratis. Tidak luput juga
seperti tawaran videonya di youtube yang seabrek jumlahnya.
Lebih
marak lagi di tahun 2010-an dengan Demi
dan Suliyana lagu Banyuwangi kian merambah bahkan sampai ke luar pulau Jawa. Demi
dengan cengkok yang mudah ditirukaken di
kalangan muda. Oleh sebab itu lagu-lagu yang dibawakan cepat terkenal dan
ngetop di pasaran. Syair yang penuh keterus-terangan agak sedikit nyerempet ke
hpergaulan muda-mudi menambah lagunya disuka kalngan muda. Tak bisa disalahkan
semuanya pada pencipta dan pembuat lagu jamanlah yang menghendaki demikian.
Nyatanya pasar musik memang bisa menerima itu semua. Yang terpenting kiranya
jangan terlalu sebab yang terlalu biasanya kurang baik. Lagu-lagu seperti “Tutupe
Wirang” , “Sun akoni”, lan “Kanggo Rika”
hang ditulyang digarap Demi membuat
masyarakat terbawa dalam alunan melodi dan iramanya. Ditambah lagi dengan aransemen
koplo-nya menambah lagu-lagu ini enak didengar dan enak untuk joget.
Jikalau
diamati dengan seksama perjalanan lagu yang dibuat mestinya memang tidak akan
jauh dari perkembangan kehidupan dalam masyarakat itu pada jamanya. Di jaman klasik
lagu yang tercipta adalah untuk mengagungkan-agungkan penguasa kerajaan.
Mengelu-elukan kehidupan raja dan kerabatnya. Karena letak Banyuwangi yang jauh
dari kekuasaan raja maka tema tentang peghormatan kepada penguasa kerajaan
tidaklah nampak ada. Tetapi penghormatan itu muncul pada penguasa alam alus seperti
danyang, ratu widodari, mbah buyut, dan sebangsanya. Begitu pula pada jaman
perjuangan lagu yang tercipta sebagai penyebar semangat para pejuang
kemerdekaan. Selanjutnya di masa-masa sulit ekonomi setelah kemerdekaan
gambaran tentang perjuangan hidup di masa-masa sulit ekonomi adalah tema
sentral yang berkembang pada masa itu.
Seterusnya
lagi tanpa memberikan penyesalan juga pada masa-masa pergolakan politik dalam
negeri Indonesia lagu-lagu juga dimanfaatkan sebagai propaganda partai-partai
politik yang ada seperti yang dilakukan PKI dengan lagu “Genjer-genjernya”
sedangkan PNI kemudian membuat tandingannya dengan “Ulan Andhung-andhung”.
Selanjutnya juga pada masa reformasi di jaman kebebasan, lagu dijadikan ajang
untuk menunjukkan kebebasan berekspresi para penciptanya dan nyatanya masyarakat
menerima itu sebagai karya cipta dalam seni.
Sudah
tak dapat dipungkiri bahwa seni adalah wujud nyata dari bentuk kebudayaan yang
paling akrab dengan kehidupan manusia. Musik sebagai bagian dari seni adalah
hasil olah pikir dan ungkapan perasaan manusia yang diwujudkan dalam karya
adalah bagian dari kehidupan dalam lingkungan dimana manusia itu berada. Sudah
menjadi kepastiaan bahwa menolak roda kehidupan yang selalu berputar akan
digilas oleh roda kehidupan itu sendiri. Tetapi jika boleh berharap jadikanlah musik
sebagai bagian dari seni ini bukan hanya sebagai tontonan saja tetapi haruslah bisa menjadi tuntunan
dalam kehidupan masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar