Senin, 30 Juli 2018


Syair dan Lagu dari Gandrung,
Angklung, hingga Dangdut Koplo
Ditulis: Drs. Moh. Syaiful
Podho nonton
Pundak sempal ring lelurung
Ya pendite pundak sempal
Lambeane para putra
Kejala ring kedung sutra
Tampange tampang kencana

Kembang menur
Melik-melik ring bebentur
Sun siram-siram alum
Sun pethik mencirat ati

Lare angon
Gumuk iku paculono
Tandurono kacang lanjaran
Sak unting oleh perawan

Kembang gadung
Sak gulung ditawa sewu
Nora murah nora larang
Hang nowo wong adol kembang
Sun barisno ring Temenggungan
Sun iring payung agung
Lambeane membat mayun

Kembang abang
Selebrang tibo ring kasur
Mbah Teji balenono
Sun enteni ring paseban
Dung Ki Demang mangan nginum
Seleregan wong ngunus keris
Gendam gendis kurang abyur
(Noname)

            Mengamati syair lagu Podho nonton memanglah sangat menarik. Indah dan begitu penuh menmyimpan makna tersembunyi. Ini adalah syair yang perlu pemikiran berat untuk memaknainya. Kata demi kata yang terjalain jika ditafsirkan sepertinya mempunyai makna lain yang tak seperti kata demi kata yang tertulis. Ada hal yang disembunyikan dengan kata-kata indah yang dirangkai penulisnya. Duh…sepertinya butuh seorang satrawan senior untuk bisa menafsirkan makna yang dikandungnya. Podho Nonton, Lagu di atas nyatanya sudah ada sejak tahun 1800-an. Syair itu seterunya dinyanyikan oleh gandrung ke seluruh bumi Blambangan ini, begitu menurut keterangan Hasan Ali (Alm) budayawan Banyuwangi.  Lagu Banyuwangi di jaman itu sudah dapat memberikan barometer yang sangat tinggi akan kemampuan sastra orang-orang yang membuatnya. Hal ini sudah tak dapat disangkal lagi.
            Disamping memiliki makna tersembunyi karena keadaan dalam jaman penjajahan kolonial lagu-lagu Banyuwangi juga ada yang mempunyai makna sakral. Lagu-lagu yang dibuat adalah sebagai sarana upacara persembahan ataupun ritual-ritual dalam upacara adat di daerahnya. Baqhkan syair lagu yang dibuat adalah bahasa mantra untuk mendatangkan roh ataupun mahluk gaib. Lagu-lagu seperti itu dinyanyikan dalam upacara Seblang .  syair lagu ini tentunya juga tidak dapat sembarang dinyanyikan, ada saat da nada ketentuan dalam membawakannya. Jika dinyanyikan dengan syarat dan ketetntuannya syair lagu itu bagai mantra yang bisa mengundang mahluk gaib seperti; para lelembut/wong alus/danyang. Para mahluk gaib seperti lelembut/danyang tersebut dengan syair lagu yang dinyayikan bisa merasuki kepada seblang (penari dalam ritual adat sebalang). Seperti syair lagu “Seblang Lukento” misalnya, syair lagu ini jika ditembangaken 10 kali diulang dengan musik dan syarat-syarat lainnya roh danyang/lelembut bisa merasuk dalam raga penarinya. Istilahnya “ndadi” (kejimen/kerawuhan atau kesusupan).
            Demikian juga dengan syair lagu “Lilira Kantun” juga tergolong syair dan lagu yang memiliki nilai magis dan bisa mendatangkan roh saat ditembangkan dengan syarat-syarat yang sesuai ketentuan. Belum jelas siapa yang menciptakan syair-syair lagu tersebut. Ada yang percaya Mbok Widodari (Dewi Sri danyang penguasa pertanian). Di beberapa tempat Mbok Widodari disebut juga Ratu Seblang. Lebih jelasnya syair lagu tersebut seperti di bawah ini:
Seblang Lukinto
Seblang-seblang ya lukinta, sing dadi encakono,,,X10
Liliro kantun sak kantune liliro
Yugo yo sapanen dayoh riko
Mbok Surgubo milu tomo….X10)

            Sejak jaman Blambangan kuna sampai jaman Banyuwangi modern  saat ini, Masyarakat Using Banyuwangi sepertinya tak pewrnah kehabisan ide untuk membuat syair lagu Banyuwangian. Ada saja selalu sumber ide yang dapat dijadikan tema lagu dan syair-syairnya. Dari yang ungkapan perasaan cinta, perjuangan, cita-cita, kegiatan dalam kehidupan sehari-hari bahkan pula kritik dan senda gurauan. Memanglah masyarakat Using Banyuwangi punya kelebihan dalam hal syair lagu dan tetembangan. Podho Nonton, adalah bukti nyata yang dapat mengukur kemampuan berolah seni masyarakat Banyuwangi pada masa itu. Meskipun baru sebatas sastra lisan yang berupa tembang namun karya sastra ini kiranya dapat menunjukkan kemampuan masyarakat Using Banyuwangi dalam hal sastra. Kekeuatan syair ini tentunya ada pada lagunya disamping kekuatan isi yang terkandung di dalamnya.      
            Di jaman dahulu syair dan lagu itu disebarkan oleh penari gandrung dari satu desa ke desa lainnya. Saat itu memanglah masih belum ada media rekam seperti sekarang ini. Cara penyebarannya ya hanya dari mulut ke mulut seperti orang menyampaikan berita dalam bahasa lisan saja. Tidaklah heran jika banyak syair yang berubah sedikit banyaknya karena hanya berpegang pada lisan saja tanpa diperkuat dengan tulisan.
            Di jaman Kolonial Belanda gandrung lanang seperti gandrung Marsan keluar masuk dari desa ke desa dan dari hutan ke hutan untuk menyampaikan pesan-pesan perjuangan lewat syair dan lagunya yng ditembangkan saat dia “ngamen” (menyamar agar tidak diketahui penjajah belanda).  Syair dan lagu-lagu yang dibawakannya syarat akan pesan dan kabar yang tersembunyi untuk meyambung lidah perjuangan mengusir penjajah saat itu. Dalam masa itu semua syair dan lagu memanglah masih anonim dan penciptanya disembnunyikan agar tak mudah diketahui penjajah. Keadaan saat itu pemerintahan kolonial sangatlah kejam kepada para pejuang kemerdekaan. Jika sampai ketahuan maka hukumannya adalah mati. Sehingga Pesan dan kabar dan perjuangan selalu disimbolkan dengan rangkaian kata yang indah. Sebagai contoh adalah lagu Kembang Waru”, syair lagu ini jumlah barisnya ada 4 baris, berisi dua baris sampiran dan dua baris isi. Hampir sama seperti karya sastra lama yaitu pantun. Jumlah suku kata dalam gendhingnya memanglah harus sesuai dengan Kembang Waru termasuk juga jatuh nadanya pada awal dan akhir kalimat dalam satu barisnya. Kesepahaman ini telah dimengerti oleh semua orang sehingga orang lainpun boleh membuat syairnya sesuai dengan larik tembang dalam “Kembang Waru” tersebut. Kebanyakan syair yang dibuat di jaman itu adalah makna yang tersembunyi (pasemon). Kebanyakan lagu dan syair adalah  (pantun) basanan, guritan (puisi), lan syi’iran (syair). Coba kita amati syair dan lagu  “Layar Kumendhung” berikut ini. Yang kurang lebih berisi tentang gambaran perjuangan yang tidak akan pernah padam walaupun kekuatan musuh terus ditambah dan ditambah lagi. Mengajak para pejuang untuk bangkit dan terus melawan sampai titik darah penghabisan.

Layar-layar kumendung
Umbak umbul ring segara
Segarane tuan agung
Tumenggung numpak kereta

Lilira kantun
Sang kantun lilira putra
Sapanen dayoh rika
Mbok srungkubo milu tama

Lilira guling
Sabuk cinde ring gurise
Kakang-kakang ngelilira
Sawah bendo ring seloka

            Itu adalah salah satu syair dan lagu gandrung jaman dahulu, syair lagu di jaman kini tentunya banyak perubahan dan berbeda dengan syair lagu jaman dulu. Proses ciptanya hanya dibantu media seperti kendhang, kethuk, Gong, biola, dan kluncing (tree angel).
            Kemampuan masyarakat Using Banyuwangi dalam bidang syair dan lagu teruslah diuji dalam perkembangan jamnnya. Perkembangan cipta syair dan lagu sudah semestinya mengikuti perkembangan jaman. Di Jaman perjuangan kemerdekaan orang-orang membuat syair dan lagu tentang perjuangan begitu pula dijaman rakyat sengsara dalam kehidupannya tema syair dan lagu juga mengikuti kehidupannya. Tak luput juga di masa pergolakan politik di tahun 1965-an syair dan lagu juga bertema seputar politik dan kekuasaan. Jika kita amati syair dan lagu yang dibuat oleh Endro Wilis yaitu  “Jaran Ucul”. Atau lagu  M. Arief “Genjer-genjer” dan “Mbok Irat”. Di jaman itu syair dan lagu yang tercipta adalah penggambaran masalah kehidupan, kritik sosial dan keadaan sulitnya ekonomi masyarakat pada masa itu padahal mereka hidup di tanah yang subur makmur seperti tanah Banyuwangi. Endro Wilis menggambarkan itu semua dalam lagunya “Jaran Ucul”. Demikian pula dengan M. Arief yang konsisten dengan kelompok angklungnya, M. Arief membuat perubahan baru dalam syair dan lagunya. Lagu-lagunya kini tidak dibatasi dengan Basanan (pantun) ataupun syi’iran (syair) namun sudah ke bentuk puisi bebas sehingga lagu yang tercipta punya rasa baru pada saat itu. M. Arief juga mulai menuliskan lagunya seperti orang modern kebanyakan dalam membuat lagu. Notasi dituliskannya dalam lambing angka nem, ji , ro, lu, mo, yaitu tangga nada pentatonic slendro Banyuwangi. Selanjutnya mungkin akan lebih tepat jika dinamakan Slendro Banyuwangian karena slendro ini memang berbeda dengan slendro Jawa yang selama ini dikenal. Disamping tangganada slendro di Banyuwangi juga dikembangkan tangganada pentatonic pelog, mungkin ini adalh pengaruh dari Seni Damarwulan/Janger yang jelas-jelas menggunakan pelog enem (pelog Bali) dalam instrument pengiringnya.  . “lagu-lagu seperti  “Janger” “Barong Sumur” mulai tercipta di tahun 1970-an saat Damarwulan/Janger mencapai masa keemasannya. Tangga nada pelog nem atau juga disebut pelog Bali itu diantaranya : 7-1-3-4-5. Pelog ini hamper sama dengan laras pelog pada musik instrument Bali.
            Selanjutnya masih ditahun-tahun ini tak bisa lepas dari seorang seniman yang getol membuat syair lagu Banyuwangi yaitu Fatrah Abal (Faturrahman Abu Ali). Lagu  “Gelang Alit”, “Tetak-tetak” dan “Angen-angene Wong Tuwek” yang dilantunkan dengan Orkes Melayu. Di jaman ini memang sedang ramai-ramainya orang membuat grup orkes melayu. Syair dan lagu-lagu pada masa ini tidaklah jauh dengan masalh-masalah cinta dan roman . Hal ini bisa dipahami mengingat saat itu pemerintah sangat ketat dalam memberi pengawasan terhadap syair dan lagu yang ada di Banyuwangi. Pengalaman sejarah sepertinya memberi pelajaran yang berharga pengawasan terhadap syair dan lagu yang berkaitan dengan partai politik terlarang pastilah tidak akan dapat beredar di masyarakat.
            Pada tahun 1974, BS Noerdian dan Andang CY menciptakan lagu “Umbul-umbul Belambangan”. Lagu ini sepertinya ada upaya untuk menggelorakan kembali semangat Nasionalisme dan meningkatkan rasa cinta tanah air utamanya kepada tanah Blambangan ini. Nanti di tahun 2007 lagu ini ngetop kembali karena justru dinyayikan oleh Samsul Hadi Bupati Banyuwangi di kala itu. Coba kita amati syair lagunya yang memberikan rasa dan menggelorakan semangat cinta tanah air-nya. Jika yang mendengarnya tidaklah bangkit jiwa nasionalisme kiranya belumlah dikatakan masyarakat Using Banyuwangi sejati.
Umbul-umbul Belambangan
Bul-umbul Belambangan 3x
Umbul-umbul Belambangan eman

He umbul-umbul he Belambangan 2x
Belambangan, Belambangan
Tanah Jawa pucuk wetan
Sing arep bosen sing arep bosen
Isun nyebut-nyebut aran ira
Belambangan, Belambangan

Membat mayun Paman
Suwarane gendhing Belambangan
Nyerambahi nusantara
Banyuwangi kulon gunung wetan segara
Lor lan kidul alas angker
keliwat-liwat
Belambangan.. Belambangan

Aja takon seneng susah kang disangga
Tanah endah gemelar ring taman sari nusantara
He.. Belambangan He Belambangan
Gemelar ring taman sari nusantara

Belambangan he seneng susahe wistah aja takon
Wis pirang-pirang jaman turun temurun yong wis kelakon
Akeh prahara taping langitira magih biru yara
Magih gedhe magih lampeg umbak umbul segaranira

Belambangan he.. gunung-gunungira magih perkasa
Sawah lan kebonanira wera magih subur nguripi
Aja kengelan banyu mili magih gedhe seumberira
Rakyate magih guyub ngukir lan mbangun sing mari-mari

He Belambangan lir asata banyu segara
Sing bisa asat asih setya baktinisun
Hang sapa-sapa baen arep nyacak ngerusak
Sun belani sun dhepani sun labuhi

Ganda arume getih Sritanjung yong magih semebrung
Amuke satria Menakjingga magih murub ring dhadha
Magih kandel kesaktenane Tawang Alun lan Agung Wilis
Magih murub tekade Sayuwiwit
Lan pahlawan petang puluh lima

Ngadega jejeg ngadega jejeg
Umbul-umbul Belambangan
Ngadega jejeg adil lan makmur
Nusantara

            Selepas dari masa politik dan nasionalisme di tahun 1980-an mulailah lagu-lagu di Banyuwangi mulai terjangkit aliran pop. Masih tetap eksis lagu daerah Banyuwangi tetaplah berkibar diantara hingar-bingar musik pop Indonesia saat itu. Tokoh Bung Sutrisno hadir membawakan kreasi baru dan mencoba mengembangkan dari orkes melayu menjadi orkes kendhang kempul.  Bung Sutrisno bersama grupnya “OM ARBAS” memasukkan unsur kendhang dan kempul (lebih tepatnya kethuk) diantara petikan suara gitar listrik dan mendayunya suara Keyboard. Gitar Listrik dan Keyboard yang menggunakan tangga nada diatonic  barat dan cengkok Banyuwangi yang meliuk dalam pentatonic selendro Banyuwangi disatukan. Lagu “Konco Lawas” yang dinyanyikan Alief S. seolah membius masyarakat Banyuwangi kala itu. Seperti ciri dari aliran pop syairnya memanglah tidak terlalu berat, ringan namun terasa bersahaja diantara kehidupan masyarakat yang memasuki dunia modern saat itu. Coba kita amati syair lagu “Konco Lawa” tersebut:
                        Konco Lawas
Assalamualaikum…
…(Walaikum salam)
Apa rika padha seger waras
Isun kangen suwe sing ketemu
            Pirang tahun rika sung tinggal
            …(Rika menyang ngendi)
            Isun menyang golet penggawean
            Yo wis asil ulih pendongan rika
Reff:
Tapi masio urip isun seneng
Konco lawas yo sing lalikaken
Rika kabeh aja kuatir
Akeh sithik rika bakal sun tulung.

            Yang lebih mengejutkan dari Wong Using Genteng ini adalah upayanya pentatonic Sunda ke dalam garapan kendhang kempulnya.  Sebelumnya musik Kendhang kempulan tidaklah jauh dari pentatonic slendro Banyuwangian. Daya kreatifitasnya makin menjadi untuk mengutak-atik lagu-lagu Sunda yang saat itu juga sedang hangat di tanah air menjadi bagian dari lagu Banyuwangian. Gendhing slendro Banyuwangi murni: 6- 1-2-3-5 diuthak-uthik ditambahkan menjadi 6-7-1-2-3-5. Lagu-lagu seperti “Isun Lamaren” dan “Tanpa Lamaren” adalah bukti nyata hasil olah pikir Bung Sutrisno yang luar biasa. Coba dengarkan juga lagu “Rehana” yang dibuat Andi Soeroso. Dari syair dan lengkingan nada-nadanya sangat kental warna po-nya. Inilah kreasi Wong Using Banyuwangi yang tak pernah berhenti di dunia syair dan lagunya.
            Di jaman kini syair dan lagu lebih banyak menceritakan cinta dan roman percintaan anatara lawan jenis pria dan wanita. Bisa dipahami di jaman modern yang lebioh menghargai kebebasan berekspresi penciptanya. Individualisme sudah menjadi ciri dari kehidupan masyarakat modern. Lagu di jaman kini sudah mulai di rekam dalam bentuk kaset atau pita. Rekaman kaset pita begitu memasyarakat. Orang yang bisa menyanyi sudah bukan lagi diberi julukan gandrung atau sinden tetapi menjadi penyanyi seperti perkembangan dunia musik modern. Penyanyi seperti Sumiyati dan Yuliatin selanjutnya keluar masuk dapur rekaman Lagu Andang CY, BS Noerdian, Macfoed semakin terasa enak digarap nganggo musik Kendang kempulan ini. “Ulan Andhung-andhung”, “Uga-uga” dan “Cakrak Ungkal” kembali disukai masyarakat Banyuwangi lagi kala itu. Generasi berikutnya adalah Niken Arisandi lan Dian Ratih. Jaman ini lagu-lagu yang mengahru biru dan melankolis sangat disukai seperti  karya Hawadin “Welas Sun Sidem”, “Stasiun Argopura” yang dibawakan Niken Arisandi.
            Di tahun 2000-an Catur Arum lan Yon’s DD bersama POB-nya (Patrol Orkestra Banyuwangi) membuat lagu “Usum Layangan”, “Sumebyar”, “Telung Segara”, dan lain-lainnya. Catur Arum bersama POB-nya membuat lagu Banyuwangi dengan irama bosas, blues, dan rock yang jelas-jelas berasal dari barat. Catur dengan gaya malu-malunya di atas panggung justru mendapat tempat di hati masyarakatnya. Bisa dikatan Catur menyanyi tanpa cengkok yang meliuk seperti kebanyak penyanyi-penyai sebelumnya namun dia bisa mendapatkan tempat tersendiri di hati pecinta musik daerah Banyuwangi.  Duetnya bersama Adistiya Mayasari yang bersuara bening seperti air di Taman Suruh menambah kekuatan tersendiri untuk POB (Patrol Orkestra Banyuwangi). Kaset dan CD-nya saat itu begitu diburu masyarakat hingga sulit ada dipasaran.
            Yang mudah diingat dari garapnnya tentunya adalah pada  suarane angklung bambu  danan kluncing (treeangle; salah satu instrument dalam musik gandrung) Banyuwangi. Meskipun POB tidak memasukkan kendhang dan kempul dalam musiknya namun ciri khasnya sangat nampak pada ritme suara angklung dan kluncing yang dipakai dalam instrument ritmisnya. Nampak terlihat menonjol dari ritme angklung pada album “Usum Layangan”-nya POB ini menampakkan POB masih memiliki rasa cinta pada musik tradisinya. Tidak lepas jika POB memasukan angklung pada irama bosas-nya karena angklung bambu memanglah memiliki sound yang lembut yang cocok dengan bosas dan blues-nya. Pembaharuan angklung yang dilakukan POB adalah pada perubahan tangga nada pada angklungnya. Perubahan dari titi laras slendro Banyuwangi menjadi tangga nada diatonic minor. Sehingga angklungnya POB sebelumnya telah dituning standart diatonic minor  barat.          Satu lagi langkah POB yang menggembirakan. Lagu Usum Layangan yang berbirama tiga perempat adalah satu langkah berani pada lagu-lagu Banyuwangi. Selama ini masihlah sangat jarang lagu dengan pola irama seperti “Usum Layangan” ini. Langkah ini ternyata bisa juga diterima masyarakat pecinta musik daerah Banyuwangi. Album perdana POB sangat laris di pasaran. Album yang saat itu masih direkam dalam bentuk kaset pita selalu diburu penikmat musik daerah di Banyuwangi dan sekitarnya. Namun sangat disayangkan akhirnya POB pecah personilnya. Catur Arum bersolo karir demikian juga dengan Yon’s DD juga begitu. Catur dengan suara dan gaya khasnya ternyata masih sangat disuka masyarakat walaupun dia bersolo karier.  Catur mencoba mendaur-ulang lagu-lagu lama dengan gayanya yang khas tanpa gerakan yang meliuk dan hampir tanpa cengkok menukik lagu-lagu lama kembali menjadi incaran masyarakat. Lagu-lagu lama seperti: “Prawan Sunthi”, “Ancur Lebur”, “Lir Pedhote Banyu”,lan “Tamba Kangene Ati”. Di sini kita coba ingat kembali dari syair lagi “Sumebyar” dari album perdana POB (Patrol Orkestra Banyuwangi):
            Sumebyar
Sing tau tauo, atinisun bingung gedigi
Sakat riko tinggal, urip isun rasane koyo nggantung
Pikiran sering ngelamun,
Sampek awak, dadi koyo wong linglung

Kabar wis semebyar,
Riko lan isun arep jejodoan
Embuh keneng setan paran,
Riko ninggal isun tanpo jalaran

reff :
Mulo titip salam, nong angin lan derese udan
Warahen isun ngenteni, tekan riko eman
Embuh sampek kapan, isun emong nanggung wirang
Sun enteni, nong cracabane lawang

            Setelah itu genre musik di Banyuwangi berubah menjadi musik dangdut koplo. Perubahan jaman nyata memanglah tak bisa ditolak dan dihindari. Begitu juga dengan perubahan genre musik di Banyuwangi ini. Lagu-lagu Banyuwangi nyatanya telah ikut-ikutan dalam hingar-bingarnya musik dangdut koplo ini. Sebut saja Reny Farida dan Ratna Antika yang membawakan kembali tembang lawas dengan aransemen dangdut koplo ini. Dalam musik ini kendhang Banyuwangi diganti dengan kendang table india walaupun terkadang keplak Banyuwanginya masih sangat kentara. Coba kita amati saja lagu “Aja cilik Ati”, “Sing Duwe Isin”, dan “Bokong Semok” dijamin bakaln kepingin goyang badan denger garap musiknya ini. Kolaborasi ini nyatanya begitu kuatnya mempengaruhi masyarkat hingga lagu-lagu bergaya ini meledak hingga keluar daerah banyak orang yang memutar CD-nya. Ditambah lagi perkembang teknologi informasi dalam dunia maya. Coba saja googgling di internet terus ketik saja Gendhing Banyuwangi, pastilah banyak web dan situs yang menawarkan dalam bentuk MP3 ataupun MP4 untuk dapat diunduh gratis. Tidak luput juga seperti tawaran videonya di youtube yang seabrek jumlahnya.  
            Lebih marak lagi di  tahun 2010-an dengan Demi dan Suliyana lagu Banyuwangi kian merambah bahkan sampai ke luar pulau Jawa. Demi dengan cengkok yang mudah  ditirukaken di kalangan muda. Oleh sebab itu lagu-lagu yang dibawakan cepat terkenal dan ngetop di pasaran. Syair yang penuh keterus-terangan agak sedikit nyerempet ke hpergaulan muda-mudi menambah lagunya disuka kalngan muda. Tak bisa disalahkan semuanya pada pencipta dan pembuat lagu jamanlah yang menghendaki demikian. Nyatanya pasar musik memang bisa menerima itu semua. Yang terpenting kiranya jangan terlalu sebab yang terlalu biasanya kurang baik. Lagu-lagu seperti “Tutupe Wirang” ,  “Sun akoni”, lan “Kanggo Rika”  hang ditulyang digarap Demi membuat masyarakat terbawa dalam alunan melodi dan iramanya. Ditambah lagi dengan aransemen koplo-nya menambah lagu-lagu ini enak didengar dan enak untuk joget.
            Jikalau diamati dengan seksama perjalanan lagu yang dibuat mestinya memang tidak akan jauh dari perkembangan kehidupan dalam masyarakat itu pada jamanya. Di jaman klasik lagu yang tercipta adalah untuk mengagungkan-agungkan penguasa kerajaan. Mengelu-elukan kehidupan raja dan kerabatnya. Karena letak Banyuwangi yang jauh dari kekuasaan raja maka tema tentang peghormatan kepada penguasa kerajaan tidaklah nampak ada. Tetapi penghormatan itu muncul pada penguasa alam alus seperti danyang, ratu widodari, mbah buyut, dan sebangsanya. Begitu pula pada jaman perjuangan lagu yang tercipta sebagai penyebar semangat para pejuang kemerdekaan. Selanjutnya di masa-masa sulit ekonomi setelah kemerdekaan gambaran tentang perjuangan hidup di masa-masa sulit ekonomi adalah tema sentral yang berkembang pada masa itu.
            Seterusnya lagi tanpa memberikan penyesalan juga pada masa-masa pergolakan politik dalam negeri Indonesia lagu-lagu juga dimanfaatkan sebagai propaganda partai-partai politik yang ada seperti yang dilakukan PKI dengan lagu “Genjer-genjernya” sedangkan PNI kemudian membuat tandingannya dengan “Ulan Andhung-andhung”. Selanjutnya juga pada masa reformasi di jaman kebebasan, lagu dijadikan ajang untuk menunjukkan kebebasan berekspresi para penciptanya dan nyatanya masyarakat menerima itu sebagai karya cipta dalam seni.
            Sudah tak dapat dipungkiri bahwa seni adalah wujud nyata dari bentuk kebudayaan yang paling akrab dengan kehidupan manusia. Musik sebagai bagian dari seni adalah hasil olah pikir dan ungkapan perasaan manusia yang diwujudkan dalam karya adalah bagian dari kehidupan dalam lingkungan dimana manusia itu berada. Sudah menjadi kepastiaan bahwa menolak roda kehidupan yang selalu berputar akan digilas oleh roda kehidupan itu sendiri. Tetapi jika boleh berharap jadikanlah musik sebagai bagian dari seni ini bukan hanya sebagai  tontonan saja tetapi haruslah bisa menjadi tuntunan dalam kehidupan masyarakatnya.