Selasa, 27 November 2018



SENI TRADISI, ANTARA HIDUP DAN MENGHIDUPI
Ditulis: Drs. Moh. Syaiful
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang sebenarnya bisa dijadikan dasar untuk melestarikan seni tradisi, “Sapa hang temen bakale tinemu”. Maksudnya kurang lebih jikalau kita mempunyai tekat yang kuat dan bersung-sungguh pastilah akan menemukan hasilnya. Ungkapan ini sepertinya selalu dijadikan dasar oleh seniman-seniman Banyuwangi di jaman masa-masa keemasan gendhing-gendhing Banyuwangi di masa silam, kira-kira di  tahun 1960 sampek tahun 1975-an. Di kala itu Seni tradisi Banyuwangi bagaikan tanaman yang sedang berkembang, sehingga namapak indah dan menarik perhatian. Seolah siapa saja pastilah tertarik dan senang kepada bunga yang sedang berkembang tersebut. Begitu menariknya tanaman yang sedang berbunga mekar hingga tentu saja banyak yang tertarik dan ingin memilikinya. Gambaran itu kiranya nampak pada syair lagu karya Endro “Dhonge Mekar”.      
Dhonge mekar
kaya kembang menur elok ayu,
arum wangi nggugah ati ngalor-ngidul,
aja kaget kadhung akeh lancing padha ngerubut,
ati-ati rika nyawang ulan meledhung,….  

            Satu bait lagu karya Endro wilis ini memanglah sangat indah. Lagu tersebut sampai sekarang masih tetap dinyanyikan banyak orang dan direkam ulang dengan aransemen yang baru. Aransemen baru itu diantaranya ada yang digarap musik Gandrung, ana yang musik angklung, ada juga kendhang kempul, malah-malah ada juga dangdut koplo. Di jaman lampau proses garap atau proses penciptaan gendhing atau lagu masihlah menggunakan medium angklung, sebelum musik Banyuwangi begitu pesat berkembang seperti saat ini. Angklung di jaman itu masihlah satu-satunya instrument yang dipakai sebagai medium garapnya. Di jaman sekarang sudah jarang sekali orang menggunakan instrument ini sebagai media penyalur ekspresi untuk menciptakan gendhing/lagu. Munculnya alat-alat musik modern dewasa ini menjadikan instrument daerah seperti angklung ini terpinggirkan. Instrumen musik modern seperti orgen dan gitar membuat angklung yang nilai praktinsnya kalah malah jadi terbuang. Yang dilakukan M. Arif,  Endro Wilis dan pencipta jaman dahulu dalam berproses memanglah menggunakan media angklung sebagai media/alat bantunya sehingga karya yng tercipta sangatlah indah terasa melodi Banyuwangiannya. Tidaklah salah jika kemudia membawa pada warna nada yang dihasilkannya, entah itu pilihan nada, tempo juga tebal tipis dan warna suaranya. Yang jelas angklung pastilah membawa pengaruh pada saat proses kreatif seorang pencipta lagu.
Tradisi di Jaman Kini
            Keberadaan kesenian angklung di jaman kini, nasibnya tak ubahnya sama seperti kesenian tradisi lainnya. Seperti nyala lentera yang berada di padang pasir yang luas. Nyalanya semakin surut jika diterpa angina kencang. Nyalanya nanti akan kembali terang ketika anginnya telah berlalu. Sepertinya memanglah hanya menunggu kapan akan padamnya yaitu saat bahan bakarnya habis. Sekarang sepertinya Masyarakat Banyuwangi tinggal berharap saja agar taka da angina topan atau badai yang dating hingga lentera ini bisa bertahan sampai nanti bahan bakarnya habis dengan sendirinya. Namuin jika ternyata angina topan atau badai itu benar-benar dating pastinya bukan hanya nyalanya yang mati pastilah semuanya akan ikut terbang lenyap bersama terpaan angina yang datang yang tidak jelas kemana arahnya.
            Itulah gambaran sederhana dari keberadaan seni tradisi khususnya kesenian angklung dan gandrung Banyuwangi saat ini.  Angin topan dan badai yang kuat menerpa tadi adalah gambaran dari kuatnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang saat ini telah menjadi budaya baru diatara masyarakat modern di Banyuwangi ini. Cobalah perhatikan dengan seksama pola pikir masyarakat saat ini. Salah satunya adalah kebiasaannya yang lebih suka pada hal yang yang praktis-praktis dan instant-instant saja. Seperti lebih daripada ngundang kesenian angklung yang jumlah personilnya bisa mencapai 14-15 orang jika masih angklung selisih, bahkan jika angklung caruk yang diundang pada hajatannya bisa-bisa jumlah personilnya dua kali lipat jumlahnya mendingan ngundang  electone/orgen tunggal saja krena lebih sedikit personilnya.  
            Dalam hal kepraktisan dan instant-nya pastilah electone/orgen tunggal tak akan dapat ditandangi oleh angklung ataupun gandrung. Apalagi ditambah kemajuan di jaman digital ini, kendhang, kethuk, biola kluncing (triangle), saron, dan angklung soundnya sudah bisa deprogram dalam orgen/elctone. Maka dari itu orang sekarang berpikir lebih baik mengundang electone/orgen tunggal saja sekarang toh hasil akhirnya juga sama. Pemain electone/orgen cukuplah satu orang saja kemudian ditambah 3 atau 4 artis saja bayarannya kurang lebih sama. Disamping yang terpenting jumlah konsumsi yang ditanggung tidaklah sebesar electone/orgen tunggal. Cobalah jika dibandingkan dengan mengundang angklung bisa-bisa pembekakan konsumsinya bisa sampai 5 kali lipat. Belum lagi di jaman sekarang sudah sangatlah sulit untuk mencari tanah yang lapang, sebab pergelaran angklung membutuhkan tempat yang lebih luas. Mengundang kelompok angklunmg untuk satu pergelarannya membutuhkan paling sedikit dua puluh meter persegi apalagi angklung caruk bisa-bisa butuh lebih luas lagi dari itu. Dengan electone/orgen tunggal cukuplah panggung dengan ukuran 2 kali 4 saja artisnya sudah bisa bergoyang bersama penontonnya.
            Itu masih dalam hal praktis dan instant-nya juga pada tempat, belum lagi dalam hal efisien waktu. Seumpama mengundang angklung di pagi hari sett instrument dan perlengkapan lain ditambah sett soundnya bisa-bisa membutuhkan waktu 3 jam lebih belum dapat langsung pentas. Bandingkan dengan electone/orgen tunggal 15 menit di pesan 15 menit berikutnya datang kemudian dipasang sudah bisa memenuhi permintaan yang punya hajatan. Begitu pula dengan waktu bongkarnya jauh lebih cepat, orgen diangkat masuk ke dalam mobil mini bus saja demikian juga artisnya, tak lebih dari sepuluh menit semuanya beres dan tempat sudah bersih dari peralatan.
            Sepertinya orang-orang jaman kini hidup dalam kejaran waktu saja. Itulah salah satu ciri dari pola kehidupan masyarakat yang modern tersebut.
Tradisi juga Bergengsi
Kembali lagi pada hal apa itu kesenian tradisional yang sebenarnya. Jikalu boleh mengutip dari Wikipedia yang memberi batasan terhadap kesenian tradisonal adalah, A tradition is a belief or behavior passed down within a group or society with symbolic meaning or special significance with origins in the past..” . kurang lebih tradisi itu kecerdasan/kemampuan yang dimiliki satu kelompok orang dalam masyarakatnya yang diwujudkan dengan symbol atau tanda-tanda yang tidak dimiliki masayarakat lainnya dan murni sebagai warisan turun temurun. Jikalau tradisi itu merupakan warisan secara turun temurun tinggalah melihat saja yang diwarisi dari tradisi tersebut mau atau tidak untuk meneruskan tradisinya dan kembali nantinya menurunkan kepada generasi berikutnya. Dengan kata lain seni tradisi itu bisa hidup tergantung dari masyarakat yang merasa memilikinya. Jika masih merasa memiliki lestarilah seni tradisinya, tetapi sebaliknya jika  masyarakatnya sudah tak bisa menerima warisan tradisinya ya mati pulalah seni tradisi tersebut.
Dengan kata lain semuanya terserah kepada kemauan masyarakatnya. Sebab bukanlah hal yang mustahil apabila seni tardisi bisa hidup berdampingan dengan kehidupan modern saat ini. Bisa dijadikan contoh misalnya adalah orang Jepang. Kita tahu semua bagaimana majunya Negara Jepang, sebagai Negara dengan industri paling modern  saat ini, apalgi dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya yang jaug lebih mapan dari Negara-negara yang telah lebih dulu memulai kehidupan modernnya. Dengan kehidupan moderna saat ini yang dialami orang-orang Jepang nyatanya mereka masih tetap memelihara tradisinya dengan kuat.  Di jaman seperti saat ini tidaklah aneh jika di sanan masih banyak orang yang memakai baju Kimono dan Yukata berjalan-jalan di jalan umum. Begitu pula dengan seni musiknya, orang Jepang masih suka memainkan shamisen (musik tradisional khas Jepang). Mereka tidak malu justru mereka bangga bisa memainkannya. Sudah pasti di sini terlihat orang Jepang masih ingin tradisinya terus hidup dan dapat menghidupi masyarakatnya.
           
Nomer Pertama
            Sekarang anggap saja kalau masyarakat Banyuwangi masih mau memelihara dan melestarikan seni tradisinya. Seharusnya apa yang bisa diperbuat untuk tetap bisa memelihara dan melestarikan seni tradisinya tersebut. Pertama pastinya harus ada perubahan mindset (pola pikir) untuk tetap mau dan mengakui bahwa seni tradisi tersebut merupakan asset bangsa dan Negara ini. Kesadaran akan hal ini semestinya dibina dan dipertahankan pada kehidupan masyarakatnya. Jika hal itu sudah dapat terlaksana dengan baik selanjutnya adalah tugas dari pemerintah yang mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan untuk melindungi dan tetap melestarikan seni tradisinya. Selanjutnya pemerintah bersama jajaran terkaitnya membuat kebijakan kalau perlu undang-undang yang bisa mengatur dan berupaya melindungi seni seni tardisi tersebut. Hal ini tentunya tidak sulit untuk dilakukan mengingat era otonomi daerah seperti saat ini sangat memberikan keleluasaan untuk mengatur daerahnya sendiri. Pemerinyah daerah mempunyai wewenang mengatur daerahnya apalagi usaha-usaha itu adalah usah yang positif bagi kelangsungan seni tradisi di daerahnya sendiri.Bukankah Kepala pemerintahan di daerah mempunyai wewenang yang penuh di daerahnya sendiri.
            Marilah kita coba bercermin pada sejarah yang baru-baru saja terjadi di Banyuwangi ini. Masih segar pada ingatan kita saat Banyuwangi di bawah kepemimpinan Bupati Samsul Hadi. Bupati yang satu ini sudag terkenal begitu cintanya pada kesenian tradisi Banyuwangi. Saat itu dimana-mana orang menyanyikan lagu “Umbul-umbul Belambangan”. Kenapa ini terjadi karena Bupati saat itu memang mengupayakan lagu ini sebagai lagu wajib selain lagu wajib Nasional Indonesia Raya untuk dinyanyikan diacara-acara resmi di wilayah kabupaten Banyuwangi. Tidak salah kiranya selanjutnya orang-orang begitu bersemangat untuk belajar lagu “Umbul-umbul Belambangan”.
            Atau kalau kita mau mundur lebih jauh lagi sedikit di era tahun 1970-an saat pememrintahan bupati Joko Supaat Slamet (Almarhum). Bupati ini justru membuat instruksi untuk terus tetap melestarikan kesenian tradisi Banyuwangi. Dari beliau inilah nanti lahir “Angklung Daerah Banyuwangi”. Angklung ini sebenarnya merupakan perkembangan dari Angklung Bali-balian (Tabuhan Bali) yang ditambah dengan instrument gandrung yaitu biola, kethuk, lan Kluncing. Saat itulah Angklung Banyuwangi kembali makin marak setelah sebelumnya suram di awal-awal pemerintahan orde baru. Hal ini dikarenakan ada trauma yang berlebihan terhadap angklung setelah angklung Banyuwangi dijadikan alat propaganda oleh Lekra/PKI. Padahal sebenarnya bukan orang Lekra/PKI saja yang berkiprah pada kesenian angklung. Partai lain seperti PNI dengan LKN juga memanfaatkan angklung sebagai propagandanya. Ibaratnya ini sbuah trauma yang akut yang menghinggapi masyarakat Banyuwangi untuk berkegiatan seni saat itu. Orang-orang yang dianggap PKI dengan genjer-genjer-nya banyak yang dipenjara dan bahakan pula banyak yang dibunuh. Walau sebenarnya tidak semua orang-orang itu mengerti dengan kegiatan ke-partaian. Beberapa diantaranya hanyalah sebagi pengikut kesenian saja, karena kecintaannya pada dunia seni. Carut-marutnya politik saat itu telah menyamaratakan partai politik dengan kesenian. Penggiat kesenian yang terlibat dalam Lekra banyak yang dipenjara bahkan adapula yang tidak diketahui kemana rimbanya sampai saat ini.
            Musik  angklung sebelum dikembangkan seperti di masa Bupati Joko Supaat Slamet masihlah dalam musik dengan instrument pukul (Idiophone) diantaranya angklung bumbung itu sendiri dan bilahan besi seperti slenthem, saron, dan peking. masuknya instrument biola dan sinden adalah pembaharuan yang mengesankan di sana. Daris sin menampakan pembaharuan yang mengupayakan bukan sekedar melestarikan tetapi adalah upaya untuk lebih mengembangkan lagi.
Langkah Kedua       
            Langkah kedua , seharusnya dari kebijakan berupa instruksi ataupun undang-undang ataupu apa bentuknya tadi dilanjutkan dengan tindakan nyata dari lembaga-lembaga kesenian baik itu bentukan pemerintah ataupun lembaga masyarakat lainnya. Lembaga-lembaga pemerintah seperti Dinas Pariwisata dan kebudayaan, Dinas Pendidikan, juga Dewan Kesenian Blambangan (DKB) adalah motor utamanya. Pada lembaga-lembaga kesenian di bawah pemerintah seperti Dewan Kesenian Blambangan ini adalah tempatnya para ahli seni berkumpul seharusnyalah lembaga ini memiliki program yang konsisten dalam hal pembinaan dan pengembangan kesenian tradisi. Program terhadap pembinaan dan pengembangan kesenian tradisi sudah semestinya mendapat prsi yang lebih besar disbanding kesenian lainnya mengingat keberadaan kesenian tradisi saat ini yang sudah lebioh memprihatinkan jika dibandingkan dengan kesenian modern lainnya.
            Bagaimana bentuk pembinaan dan pengembangan itu seharusnya telah deprogram terlebih dahulu dan dibicarakan bersama semua anggota Dewan Kesenian Belambangan bersama para seniman tradisi. Sudah selayaknya Dewan Kesenian menampung kelutujuan pembinaan dan pengembangannya. Langkah-langkah terobosan yang berani namun bertanggung jawab seharusnya diberikan agar seni tradisi dapat berkiprah dan dapat menggelar karyanya kepada masyarakat luas. Programe Pemda saat ini yang memberikan tempat kepada para seniman di Banyuwangi untuk berekspresi pada malam minggu di Taman Balambang adalah salah satu langkah yang bisa diterima masyarakat seni di banyuwangi. Ini harus dipertahankan dan diperlebar sampai ke daerah-daerah lainnya di wilayah Banyuwangi. Apalagi sekarang hampir di setiap kecamatan telah memiliki kecamatan wis duwe Ruang Hijau Terbuka (RHT) ini bisa dijadikan sarana mengangkat seni tardisi di daerahnya. Misalnyan malem Minggu ini di kecamatan  Kabat ada pementasan Angklung, malem Minggu berikutnya di Cluring pementasan Umar Maya (Rengganis), malam Minggu seterusnya di Glagah   pementasan Barong, Malam Minggu ke depannya lagi di  Genteng pementasan Hadrahan(Kuntulan) begitulah seterusnya dalam setiap bulannya, jadi tidak hanya ada pementasan di wilayah kota saja seperti saat ini di Taman Balambangan. Bukanlah hal yang mustahil kabar serta berita ini bisa sampai ke mancanegara di jaman Globalisasi ini kabar yang sekecil apapun di daerah seterpencilpun bisa menyebar kesluruh penjuru dunia.
            Hal seperti ini bisa mengingatkan kita pada kota kecil di Jepang yaitu Osaka. Kota ini sudah melaksanakan sebuah festival yang ajangnya sampai tingkat insternasional. Tahun 2006 di  Osaka diselenggarakan Festival Midosuji, festival seni tardisi tingkat Internasional yang diikuti 18 negara. Pada saat itu Indonesia diwakili Banyuwangi untuk ikut dalam festival internasional ini. Banyuwangi saat itu hanya membawakan  Jejer Gandrung dan tari “Jaran Goyang”. Namun penghargaan dari penonton pada festival itu sungguh luar biasa, standing applause (bentuk penghargaan yang setinggi-tingginya dari peserta lainnya saat itu) kepada seni tradisi Banyuwangi.
            Seandainya saja Banyuwangi dapat melakukan upayta seperti yang dilakukan Osaka. Sepertinya hal ini bukanlah mimpi siang bolong bagi Banyuwangi yang telah memiliki potensi yang cukup untuk berbuat kea rah sana. Barangkali tinggal niat dan usahanya saja yang perlu dipertegas agar tujuan itu bisa sampai pada akhirnya. Kari niate mau ana tah sing. Niat nguri-uri kesenian Banyuwangi dienggo urip lan nguripi kesenian tradisional iku mau.
Ketiga
            Yang berikutnya ketiga adalah masyarakat Banyuwangi itu sendiri. Lalu, masyarakat golongan mana yang harus didahulukan. Seharusnya yang pertama adalah golongan masyarkat yang mempunyai uang lebih, yaitu pengusaha. Pengusaha yang mana, tentu saja adalah pengusaha rekaman CD dan kaset. Coba kita amati saja yang telah diperbuat para pengusaha rekaman CD dan kaset tersebuta saat ini. Begitu muncul musik-musik modern seperti saat ini, musik gandrung dan angklung di Banyuwangi mulai dipinggirkan. Hampir smua produser rekaman sudah tidak berani lagi memproduksi gendhing-gendhing/lagu-lagu baru dengan aransemen angklung atau gandrung. Gendhing/lagu selalu digarap  dengan kendhang kempul/dhangdut koplo terlebih dulu, jika gendhing dan lagu bisa  bomming di pasaran barulah ada aransemen angklung dan gandrungnya. Seperti contohnya “Mendhung Cemeng” nya Imam Rosidi, terus “Aja Cilik Ati”, “Sing duwe Isin”, “Semebyar” Catur Arum. Ada ketakutan jika produser nantinya akan rugi besar jika membuat angklung dan gandrung. Gendhing-gendhing/lagu-lagu yang telah laku keras di pasaran selanjutnya produser mau membuat versi gandrung/angklungnya. Tetapi semua produksi sep[ertinya sudah diatur oleh produser rekaman, dari mulai lagu yang akan dipasang dalam albunya , penyayi/sindenya bahkan pemain musiknya. Umpama saja  “Mendhung Cemeng” harus dinyayikan Mbok Supinah, Semebyar oleh Mbok Koesniah dan lain-lainnya. Mau bagaimana lagi jika seniman di Banyuwangi sekarang sudah diatur oleh pihak produser. Jika tidak demikian seniamn tidak akan mendapat kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Rasanya belum cukup jika seniman angklung dan gandrung hanya menunggu tanggapan manggung dari masyarakat saja. Ya dengan terpaksa memang harus menerima kemauan sang produser rekaman.
            Langsung kita ambil saja contoh nyata, Mbah Jokir seniman gandrung Banyuwangi. Orang dari kecamatan Gambiran ini sudah lama bergulat dengan gandrung di Banyuwangi. Beliau adalah salah satu orang yang masih dipercaya produser rekaman untuk produksi  Gandrung. Coba berapa produksi rekaman dalam setahunnya yang b isa dilakukan Mbah Jokir. Tidak banyak sekali setahun atau dua kali itupun sudah sangat banyak. Lalu berapa produser rekaman yang mau bekerja sama dengan Mbah Jokir, satu atau dua saja itu juga sudah sangat banyak bagi seniman gandrung ini. Produser yang lain kebanyakan tidak berani untuk produksi gandrung Ring. Selalu dengan alasan pasaran masih sepi. Selalu begitu produser berkilah, padahal rekaman koploan dangdut di pasaran, selalu ramai. Beginilah nasib kesenian tradisi Banyuwangi di rumahnya sendiri.
            Selanjutnya setelah msyrakat dari golongan pengusaha yang juga sangat penting adalah seniman itu sendiri (pelaku seni). Seniman di sini adalah seniman yang mempunyai kreatifitas dalam dunia seni tradisi. Seniman pengarang lagu/gendhing yang diutamakan. Seniman ini sudah seharusnya mempunyai tekat yang kuat untuk bisa membuat karya gendhing/lagu yang berkualitas. Itupun bukan berarti karya seniman-seniman sekarang tidak baik. Namun sekarang ini sepertinya arahnya sudah akan nampak ke sana. Membuat gendhing/lagu sangat cepat dan instan, sekarang dipesan besuknya sudah di rekam. Sehingga banyak lagu yang mengkopi dari lagu-lagu yang sudah terkenal, diganti syairnya dirubah sedikit melodinya jadilah gendhing/lagu sesuai permintaan. Yang penting produser mau dan dengan promo sedikit laku di pasaran. Beginikah selayaknya seniman Banyuwangi yang sudah terkenal sejak dulu dengan kekuatan adat dan tradisinya?...
            Perlulah kita pikir sejenak, mampukah seniman-seniman semacam ini bisa terkenal dan bisa membawa harum nama Banyuwangi di kancah dunia seni dalam naungan bumi Nusantara ini? Bisa diingat barangkali bagaimana seniman-seniman jaman dahulu berkiprah dalam karya-karya seninya. Di tahun 1960 Endro Wilis dengan karya gendhing “Ulan Andhung-andhung” bisa merambah ke seantero Nusantara. Gending/lagu yang di Singapura dengan piringan hitam dibuat dimaksudkan untuk menandhingi gendhing/lagu “Genjer-genjer” yang sudah terkenal terlebih dahulu yang dibawakan Bing Slamet. Sejak saat itu gendhing/lagu “Ulan Andhung-andhung” bisa terkenal bersama penyanyi asli kelahiran banyuwangi yaitu Emilia Contesa. Setelah itu siapa yang tidak mengenal lagu ini, lagu dengan syair yang puitis dan sudah diakui keindahan lagunya di Nusantara ini. Kemudian baru saja terjadi Istana Negara lagu ini kembali dibawakan dalam paduan suara pada Hari Kemerdekaan RI tahun 2013. Ini saking menariknya gendhing/lagu8 ini untuk diaransemen, sehingga terpilih diantara ribuan lagu daerah yang ada di Nusantara ini..    
            Itu baru salah satu dari sekian banyak pencipta gendhijng/lagu Banyuwangi. Masih banyak lagi pencipta gendhing/lagu Banyuwangi lainnya yang karyanya juga sempat terkenal ke Nusantara ini selain Endro Wilis seperti, M. Arief, BS Noerdian, Andi Soeroso, Andhang CY, yang bisa dijadikan contoh jika pengarang atau pencipta lagu yang sangat serius dalam berkarya seni.Cobalah diamati lagu M. Arief di bawah ini;
AMIT-AMIT
Amit-amit sedulur hang podho nyakseni
Kito kabeh njaluk maklume lahir batin
Gendigan iki gending aseli Banyuwangi
Blambangan tanah Jowo pucuk wetan

Amit-amit kito njaluk dititeni
Kadung luput ageng alit sepurane
Ayo dulur kekurangane apekeno
Wong hang nganggit kepinterane durung sempurno

Amit-amit kumandange nyudulo langit
Semebaro nyerambahi Nusantoro
Ayo dulur podo guyubo nang Budoyo
Urun-urun njunjung derajate Bongso
            Gendhing/lagu ini menunjukkan karakter seniman Banyuwangi yang sebenarnya Memiliki sikap santun rendah hati mempunyai kemampuan namun tidak sombong sombong. Lagu “Amit-amit” jikalau diterjemahkan secara bebas ke bahasa Jawa kira-kira maksudnya adalah “nyuwun sewu” atau permisi jika diartikan ke bahasa Indonesia. Selain itu pencipta gendhing/lagu juga ingin menunjukan kreatifitas seniman Banyuwangi dan kemampuannya dalam hal seni yang tinggi namun tetaplah rendah hati. Disamping itu juga digambarkan tentang cita-cita luhur seniman Banyuwangi yang ingin meningkatkan derajat Nusa dan Bangsa melalui Kesenian.
            Kalau diamati dari pilihan nadanya gendhing/lagu ini adalah lagu yang smestinya adalah lagu untuk p[ilihan pada lomba nembang/nyanyi. Pilihan nada-nada dari yang paling rendah dan yang paling tinggi hampir dengan interval 3 oktaf jika diukur dengan Tangga Nada Diatonis. Supinah sinden terkenal dari  Banyuwangi saja jika menggunakan instrument dan larasnya P. Mitro atau laras Angklung Bolot pastilah tidak nyampai apalagi menggunakan nada dasar pada bem 3. Bisa dikatakan lagu ini bisa mengukur kemampuan vokalisnya dalam hal teknik vocal. Tidak salah gendhing/lagu ini selalu menjadi pilihan dalam membawakan tembang lomba/festival ring Banyuwangi, entah itu lomba Patrol, lomba angklung atau lomba nembang/nyanyi. Walaupun tidak semua gendhing yang memakai nada hingga interval 3 oktaf mesti lagu yang bagus.
Nomer Papat
            Yang tidak kalah pentingnya tentulah pelaku seni langsung yang berkiprah pada karaya seni tersebut yaitu; panjak/musisi, gandrung, penari, penyanyi atau sinden. Karena dari tangan pelaku seni inilah sebagai ujung tombak seni tradisi ini bisa hidup dan untuk menghidupi masyarakatnya. Tidak bisa dipungkiri jikalau seni tradisi ini bisa maju dan berkembang dan merambah sampai ke dunia Internasional hasilnya juga akan langsung dinikmati oleh pelaku seni itu sendiri. Dengan kata lain pastilah hasil dalam bentuk materi akan mengalir ke tangan-tangan mereka.
            Tidak salah kiranya jika pelaku seni di Banyuwangi menimba ilmu musik modern atau ilmu musik barat. Itu bisa dijadikan dasar sebagai pijakan dalam mengembangkan musik tardisi yang telah dimiliki sebelumnya. Ini bisa dijadikan penguat bagi pemgembangan berikutnya.
            Ini sebenarnya adalah contoh nyata, banyak gendhing lama yang dulu digarap kemudian di jaman sekarang di aransir dengan pemikiran dan ilmu musik modern menjadikan gendhing/lagu ini makin baik dan makin bisa diterima di semua kalangan. Sebagai contoh adalah garapan musik kendhang kempul Sutrisno, Orkes Tawang Alun, dan lain-lainnya.  Ada juga dengan aransemene baru dan merubah total aransemen lama justru membuat gendhing/lagu itu makin bagus dan makin cocok pada masanya.  Catur Arum bisa dipakai contohnya di sini. Seniman mampu membawakan gendhing/lagu dengan karakter baru walau itu gendhing/lagu lama yang dibawakan. Gendhing/lagu “Perawan Sunthi” yang dibawakannya dengan aransemen bosas, dan dengan intrepretasi khas  Catur Arum nyatanya bisa membuat lagu ini hit kembali di jaman kini. Belajar musik barat emamnglah tidak harus menghilangkan ilmu musik tradisinya.
            Karakter dan prinsip yang kuat sudah semestinya dimiliki para seniman. Karakter yang didasari dari tanah kelahirannya, tanah Banyuwangi. Yang senimannya dahulu telah dikenal di bumi Nusantara tercinta ini. Kesenian Banyuwangi sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat yaitu kebudayaan Blambangan yang sejatinya adalah kebudayaan Majapahit. Seniman-seniman yang lahir di sini patutlah dapat berjalan tegak dan tengadah lebih kuat dengan dasar yang telah dimilikinya. Seniman Banyuwangi yang telah diwarisi kebudayaan Majapahit mestinya adalah seniamn-seniman reatif karena telah lebur dalam terpaan kerasnya perubahan dari jaman ke jaman. Seniman Banyuwangi harus terus mampu membangun dan selalu mengasah kemampuannya agar dapat terus mengembangkan kemampuannya dalam berkarya dan berolag seni.
Nomer Lima
            Golongan masyarakat kelima adalah golongan masyarakat penikmat seni tradisi.Golongan ini dijadikan sasaran terakhir yang tentu saja tidak bisa dipandang remeh sebelah mata. Siapa lagi golongan tersebut selain masyarakat pecinta dan penikmat seni tradisi. Masyarakat di sini punya andil yang sangat besar dalam upayanya untuk tetap menghidupi seni tradisinya, utamanya dalam hal materi berupa dana. Masyarakat penikmat dan pecinta seni tradisi sudah selayaknya ingin menikmati seni tradisi yang bukan hanya itu-itu saja, tentunya yang seni yang tidak membosankan. Untuk itu permintaan para penikmat/pecinta seni tradisi dapat dimengerti oleh seniman maupun pencipta gendhing/lagu. Sudah menjadi hokum di dunia ini yaitu ada yang menjual da nada yang membeli. Meskipun masyaraktlah sebagai pemilik dana namun bukan berarti semua permintaan dan keinginannya dapat dipenuhi semuanya. Sebab golongan masyarakat di sini juga masih terbagi dalam kelompok-kelompok masyarakat yang tingkat apresiasinya sangat beragam.
            Jika diibaratkan dengan orang yang berjalan menuju satu tujuan, semestinya mempunyai titian agar perjalanannya tidak nyasar dan sampai ke tujuan. Di sinilah peran pelaku seni yang seharusnya tetap konsisten pada titian yang telah dibuat orang-orang terdahulu. Janganlah sampai titiannya hilang hingga bisa tersesat dan kehilangan arah di jalan. Tujuan yang diharapkan tetaplah harus disepakati bersama uatamanya dari lima golongan masyarakat tersebut. 
Menyatukan Tekat untuk Melestarikan
            Singkat cerita, melestarikan kesenian tradisi Banyuwangi adalah menjadi tugas bersama. Semua orang yang merasa memiliki dalam tekad yang sama dan bersama-sama  mewujudkannya. Kebersamaan kiranya dapat lebih ringan untuk menjaga tetap menyalanya lentera yang berada di tengah padang yang luas. Jika nyala lenteranya akan padam mestinya akan banyak yang dapat kesempatan untuk menyalaknnya kembali. Dan jika nyala lentera diterpa angin. Dalam kebersamaan menupayakan lestarinya seni tradisi kiranya dapat meringankan tugas yang berat, Insya-Allah dapat terwujud.
            Bentuk dari perwujudan seni tradisi yang merupakan kecerdasan dari suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun tersebut harusnyalah tetap bisa diterima apapun keadaannya. Warisan turun-temurun ini dapatlah menjadi ciri khas sebagai kekayaan budaya Banyuwangi dapatlah kiranya tetap dijaga dan dilestarikan. Dan janganlah cuman sekedar dipandang dan dibiarkan terpajang di dalam gedung sebuah museum. Sangat sayang jika tidak dirawat dan dijaga sebab para leluhur tidak mudah untuk dapat mewujudkannya. Tekat yang kuat untuk tetap melestarikan warisan leluhur ini harus selalu dimiliki para keturunannya.
            Dapatlah dikatakan sebenarnya hidup dan matinya seni tradisi itu terfantung dari masyarakat yang memilikinya. Jikalau masyarakatnya masing merasa memiliki dan tetap ingin tetap meilikinya maka akan tetap hidup pula seni tradisi tersebut dalam masyarakatnya. Kesepakatan untuk dapat tetap melestarikannya haruslah ada usaha utamnya dari kelima golongan tersebut. Usaha nyata pada masing-masing bidang pada ke lima golongan tersebut akanlah dapat menjadi banteng yang kuat untuk memajukan dan mengembangkan seni tardisi di daerahnya. Jika diibaratkan sebuah musik orchestra, meskipun kelima golongan tersebut bekerja di bidangnya masing-masing namun tetaplah harus menjadi satu kesatuan bunyi yang terpadu indah dan nyaman untuk di dengar. Siapa saja yang kuat dalam berusaha dan mempunyai tekad yang kuat untuk mewujudkan tujuannya bisa dipercaya nanti pastinya akan mendapatkan hasilnya.
Banyuwangi,  22 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar